Baru beberapa hari kemarin Sax mengenali perempuan ini. Agak mengejutkan karena sebenarnya tempat tinggal mereka saling berdekatan. Perempuan itu tinggal sekitar seratus meter dari rumah Sax. Di sana ada sebuah warung bebek bakar yang besar dan enak tapi selalu tampak sepi, di depannya ada sebuah bengkel motor, dan di sebelah bengkel motor itu ada gang kecil. Gang yang betul-betul kecil sehingga bahkan dua motor pun tak mungkin berpapasan. Itu adalah gang buntu pendek yang di dalamnya hanya ada dua rumah. Perempuan itu tinggal di salah satu rumah, yang ternyata adalah sebuah rumah kontrakan. Bahkan Sax sendiri tidak pernah tahu bahwa di sana ada rumah kontrakan, apalagi mengetahui perempuan itu tinggal di sana.
Sax mengenal perempuan itu saat hujan sedang turun dengan cukup deras. Saat itu ia baru pulang dari kota sebelah mengantarkan barang-barang pesanan. Memang di kota yang seperti ini—Sax menyebutnya kota pantat botol—banyak usaha yang tidak terlalu berkembang, namun usaha distribusi serta travel setidaknya masih diperlukan. Sax memilih salah satunya, perusahaan distribusi yang biasanya diminta mengantarkan barang-barang ke kota-kota lain. Barang apapun, selama masih bisa muat di mobil pick-up nya. Memang Sax memiliki dua orang karyawan, namun terkadang padatnya jadwal pengiriman membuatnya harus ikut turun mengantarkan barang.
Awalnya dia merasa tidak masalah untuk pergi ke sana, karena jarak kota sebelah bisa ditempuh hanya satu jam perjalanan, atau dua jam jika mobilmu benar-benar perlahan. Namun ternyata hujan dan banjir membuat perjalanan itu menjadi lima jam, sehingga ketika dia pulang, Sax merasa sangat lelah. Maka dia menyusuri jalan pulang perlahan-lahan, sementara hujan masih turun mengiringinya. Sax memandangi jalanan yang berubah jadi keperakan ditimpa cahaya lampu jalanan. Diam tanpa banyak bicara ia menyetir perlahan-lahan, hingga tiba di sebuah jalan yang kurang lebih berjarak lima ratus meter dari rumahnya. Saat itulah ia melihat seorang perempuan sedang berjalan di tengah guyuran hujan, tanpa payung sehingga dari jauh pun tampak tubuhnya basah.
Melihat hal itu Sax segera memperlambat mobilnya dan berhenti di sebelah perempuan itu. Perempuan itu menoleh, bersamaan dengan Sax membuka kaca mobil.
“Mau diantar? Rumahnya di mana?”
Perempuan itu memandangi sejenak, sekilas memandang Sax menduga usia perempuan itu ada di awal dua puluh, mungkin antara dua puluh atau dua puluh tiga tahun. Tampak butiran air hujan turun mengalir di wajahnya, rambutnya sudah kuyup seperti kain pel, dan Sax baru sadar kalau perempuan ini tidak memakai jaket, hanya kaos yang juga sudah kuyup sehingga lekuk tubuhnya mulai tercetak.
“Boleh, rumahku di depan, sudah dekat.”
Perempuan itu menjawab sambil membuka pintu mobil dan duduk, bajunya yang basah segera meluncurkan air ke jok mobil. Sax memandang sejenak lalu tangannya mengambil sebuah bungkusan plastik di jok belakang. Dia tadi sempat mampir di sebuah minimarket, membeli beberapa barang yang kebetulan sekali salah satunya adalah handuk kecil. Sax meraih bungkusan handuk itu lalu mengulurkannya.
“Ini, keringkan dulu rambutnya.”
Perempuan itu mengucapkan terima kasih, lalu menyambut handuk tersebut, segera dia mengelap muka serta rambutnya. Sax melajukan lagi mobilnya, hening beberapa jenak hingga perempuan itu memulai pembicaraan
“Kamu dari mana?”
Sax sedikit mengangkat alis, sepertinya sudah sangat lama tidak ada yang menyapanya dengan kata “kamu”, apalagi keluar dari bibir gadis yang kurang lebih sepuluh tahun lebih muda darinya. Tapi Sax merasa bukan pada tempatnya dia membahas soal tata krama panggilan, gadis itu mau membuka pembicaraan saja sebenarnya sudah bagus, karena jika tidak dimulai Sax akan memilih diam sampai di tempat tujuan.