Cukup lama Sax tidak mampir ke tempat itu. Namanya Insomnia, kedai kopi yang terletak di sebuah perempatan jalan. Sax mengira tempat itu dulunya adalah bar, sampai kini nuansa bar masih terasa—bahkan selain barista, mereka juga masih mempekerjakan bartender—meski mereka tidak lagi menjual minuman keras. Meski dilabeli sebagai kedai kopi, namun Insomnia menjual makanan dan minuman yang cukup variatif sehingga tidak terlalu terasa nuansa kedai kopi nya.
Urusan mengantar barang ke tempat pelanggan selesai lebih cepat dari yang diduga, karena itu Sax mengajak satu-satunya teman dia yang tinggal di kota itu: Wil. Untunglah ketika dikontak Wil menyanggupi.
Atau sebenarnya memang mudah sekali membuat janji dengan Wil, dia hampir selalu bisa pergi, sepertinya dia tidak benar-benar punya kegiatan dan selalu ada di rumah.
Sax pernah menanyakan hal itu dan Wil hanya berujar, “Kebetulan saja aku ada di rumah.” Tapi setelah berlangsung lebih dari lima kali, Sax merasa itu bukan kebetulan lagi.
Mobilnya berhenti sekitar jam sembilan pagi di depan Insomnia. Sax turun. Dalam udara pagi yang tak terlalu panas ini, Insomnia terlihat dingin dan tak ramah, seperti benda mati yang hanya diam tanpa fungsi. Pemilihan warna cat yang salah mungkin yang membuat bangunan ini tak memancarkan kehangatan. Sax mendorong pintu, dan nuansa berbeda memancar dari dalam. Lampu gantung menyala, gambar-gambar karikatur artis dan kritik politik yang sepertinya dijiplak dari sebuah koran nasional seperti bicara, suara musik akustik mengalun, wangi masakan tercium, dan ada suara-suara obrolan pengunjung. Begitu hidup dan hangat. Sax melihat beberapa orang yang sedang menikmati sarapan, sementara di meja bar beberapa orang menikmati kopi sambil memainkan telepon genggam.
Sax tidak melihat barista di meja kopi, tapi justru dia melihat bartender sedang bicara dengan seseorang berdasi. Saat Sax mendekati meja bar, bartender itu menoleh. Sax melambaikan tangan, tapi tak terbalas. Bartender tadi hanya tersenyum lalu kembali meladeni obrolan si orang berdasi. Sax membiarkan, lagipula obrolan mereka tampak penting.
Sax urung memesan, dia memandang sekitar dan melihat Wil sedang duduk di meja paling belakang. Memakan kentang goreng, di depannya ada secangkir kopi yang masih mengepul. Pasti kopi hitam pahit, Sax sudah bisa menduganya. Wil selalu suka kopi tanpa gula.
Sax mengetahui hal kecil itu dulu sekali, saat dia bertandang ke rumah Wil, mereka menyeduh kopi, dan Sax mencoba kopi bikinan Wil. Ternyata rasanya sangat pahit. “Tanpa gula, supaya pahit, seperti hidupku.” Ujar Wil.
Sax tidak membantah, malah sebaliknya. Sudah sejak dulu entah kenapa ia selalu menganggap Wil adalah manusia yang lebih keren dan layak jadi panutan. Sax merasa Wil lebih banyak tahu tentang sesuatu, dia tidak pernah—dan tidak pernah mencoba, dalam arti selalu menghindar setiap akan terjebak dalam situasi itu—berdebat dengan Wil karena yakin selalu kalah.
“Wil selalu tahu apakah sesuatu itu baik dan tidak baik, dan dia melengkapi dirinya dengan pengetahuan yang lengkap dengan hal tersebut, lebih baik daripadaku.” Demikian ujar Sax suatu hari kepada seseorang; yang juga sama-sama setuju.
Maka demikian, soal kopi hitam pahit. Meski bukan kopi kesukaannya—dia selalu memilih latte—Sax selalu merasa bahwa itulah cara meminum kopi yang benar: tanpa gula. Beberapa kali Sax mencobanya dan selalu merasa dia telah melakukan hal yang benar.