Malam itu dengan tubuh lelah, Sax beranjak masuk kamar. Dia merasa benar-benar butuh tidur. Kejadian demi kejadian yang dialaminya hari ini membuatnya merasa lelah baik secara fisik ataupun mental.
Dilihatnya, istrinya sudah terlelap. Sax bergerak dengan tenang agar tidak membangunkannya. Perlahan dia berbaring di samping istrinya, menarik selimut, memandang langit-langit. Sekilas ia sempat melirik jam digital di atas meja. Pukul 2:15. Sudah dinihari, sebentar lagi pagi.
Kamar itu begitu tenang. Hanya cahaya masuk dari dapur yang memang berdekatan. Pintu kamar terbuka, bias cahaya menempel pada barang-barang. Tempat tidur, komputer, laptop, gelas teh, boks bayi yang sampai saat ini belum juga terpakai dan malah berfungsi sebagai tempat menyimpan baju sebelum disetrika. Sax mengenali betul benda-benda di kamarnya itu. Kini terasa ada yang berbeda, karena lambat laun Sax merasa benda-benda itu perlahan memudar. Sax heran, dia tahu bahwa dirinya belum tidur. Setidaknya dia masih merasa punya kontrol pada kesadarannya. Jadi seiring makin memudarnya barang-barang itu dari penglihatannya, Sax masih punya waktu untuk memikirkannya.
Lambat Sax menyadari bahwa barang-barang itu bukanlah memudar, melainkan ada selapis kabut tipis memenuhi kamarnya. Entah dari mana. Sax tidak bisa memastikan dia bermimpi atau tidak, tapi dia merasa ini semua nyata. Sax ingin bergerak, ia ingin menghapus kabut-kabut itu, tapi ternyata ia tidak dapat bergerak. Ini aneh, otaknya bisa berpikir, tapi badannya tak bisa bergerak. Sax tidak panik, dia tahu ini gejala biasa, ada fase di mana saat tidur orang mengalami kelumpuhan, dan dia bisa berpikir sejauh itu, berarti dia belum tidur. Hanya saja badannya tak dapat bergerak, namun ia seolah dapat merasakan setiap detik pergerakan titik-titik kabut samar yang menyelimuti barang-barang di kamarnya.