Rud mencondongkan tubuhnya. “Kamu tahu nggak kalau pekerjaanku ini jadi menarik karena semua opera sabun yang mampir di café ini?”
“Opera sabun?”
“Di sini, ada pelanggan kembar, cantik sekali. Namanya Arini dan Airin. Mereka berdua sama-sama penggemar Latte. Tapi Arini lebih suka Vanilla Latte dan Airin lebih suka Flavored Latte. Aku selalu suka kalau mereka datang, mereka supel, ramah, senang bicara, tapi di balik itu semua, mereka punya masalah keluarga yang lebih baik tidak usah kukatakan sekarang. Tapi aku tahu, karena mereka cerita. Setiap minggu ada cerita baru dari mereka. Aku suka mendengarkan, aku suka terlibat, aku suka memberi masukan, dan itu bisa terjadi ketika aku ada di tempat seperti ini. Itu baru satu contoh saja.”
“Jadi masih banyak lagi?”
“Masih banyak lagi. Kamu tahu pemusik yang selalu main tiap Selasa malam? Yang main harmonika.”
Sax mengangguk.
“Dia sebenarnya ingin sekali main Saxophone, tapi tidak punya uang. Harga saxophone mahal. Dia hanya punya uang seratus ribu untuk beli harmonika. Akhirnya dia beli barang itu dan berlatih memainkannya sampai sekarang. Tapi dia pernah cerita bahwa dia masih ingin bermain saxophone, hanya sekarang dia sulit sekali mengumpulkan uang karena setelah punya anak tiga, dia selalu sulit menabung. Bahkan bisa dibilang dia sama sekali tidak pernah bisa punya tabungan. Aku tahu cerita itu, dan aku ingin membantunya, tapi ya sementara ini aku cuma bisa jadi pendengar saja.”
“Mendengarkan mereka bikin dirimu bahagia?”
“Aku merasa diperlukan oleh mereka, minimal diperlukan untuk berbagi cerita. Itu yang kusebut tadi opera sabun. Mendengarkan mereka seperti mendengarkan episode-episode baru. Aku tidak perlu lagi nonton sinetron. Kehidupan mereka sudah cukup drama.”
Sax mengangguk-angguk. “Apakah hidup saya juga jadi drama buatmu?
Rud tertawa. “Tergantung, kamu mau cerita sejauh apa? Dan aku belum menawarimu minum. Mau pesan apa?”
Sax melihat daftar menu yang tertulis dengan kapur warna-warni di tembok. “Saya ingin coba yang lain, apa ada yang kamu punya di luar daftar ini?”
Rud tersenyum. “Aku punya racikan baru, belum pernah dicobakan ke orang lain sih, baru kucoba sendiri dan rasanya lumayan. Mau coba? Namanya Edgar Allen Poe.”
“Kok seperti nama penulis?”
“Memang terinspirasi dari Poe. Wil yang memicu ide ini. Minggu lalu dia ke sini dan baca-baca buku Poe, pas di tempat kamu duduk.” Rud menunjuk satu tumpukan buku di dekat meja bar. Terbaca di tumpukan paling atas adalah buku Edgar Alan Poe, entah apa judulnya. “Akhirnya kita jadi diskusi tentang Poe. Lalu malah kita berdua memikirkan minuman ini. Aku punya ide untuk menjualnya tapi aku perlu masukan beberapa orang dulu. Kamu mau?”
Sax mengangguk, “Coba deh, saya mau tahu.”
“Kukasih gratis…”
“Kalau saya masuk rumah sakit, boleh nuntut ganti rugi?”
“Tentu saja tidak!”