Sekitar dua jam kemudian, Sax keluar dari lift, dia melangkah menuju pelataran parkir. Ketika itu ponselnya berdering. Sebuah nomor yang tak dikenal. Dia mengangkatnya.
“Hai!”
Sax mengerutkan kening, suara May?
“Hai… kamu ganti nomer?”
May malah menjawab lain. “Kamu sedang di mana? Ketemuan yuk!”
Sax sebenarnya tidak suka dengan sesuatu yang mendadak atau direncanakan tiba-tiba. Tapi entah kenapa kali ini ia ingin menyambut ajakan May. “Ketemu di mana?”
“Aku sedang di Lakona Koffie, cari saja di peta. Pasti ketemu.”
“Sampai jam berapa disana?”
“Tidak tahu, datang saja. Sampai ketemu.”
Telepon terputus, Sax segera membuka peta digital dan menemukan alamat yang dimaksud. Tidak terlalu jauh dari tempatnya. Bergegas ia menaiki motor, dan menuju ke alamat yang tertera. Perjalanan lebih cepat dari yang diduga. Tidak sampai tiga puluh menit Sax telah tiba.
Tempat itu ternyata adalah sebuah tempat seperti rumah yang bagian depannya disulap menjadi sebuah kedai kopi. Bahkan dari depan dan dari bentuk pagar, tempat itu masih terlihat seperti sebuah rumah tinggal. Kalaupun ada yang membedakannya dari rumah biasa, adalah deretan empat meja besar yang ada di beranda depan. Masing-masing meja itu berisi enam kursi, membuat Sax bertanya sendiri: mengapa disediakan kursi sebegini banyak? Sebab biasanya, meja-meja di sebuah kedai kopi paling hanya didesain untuk empat orang. Di sebelah kanan pagar ada semacam booth, tampak seorang barista berambut gondrong sedang meracik kopi. Sax mendekatinya.
Pesan satu, ada saran kopi yang strong tapi tanpa gula?”
Barista itu menghentikan racikannya sejenak. “Bisa Americano atau V60?”
“Americano saja, panas.”
Barista itu mengangguk, Sax sudah akan memilih sebuah tempat di kursi luar ketika dari dalam rumah itu ada satu sosok keluar dan melambaikan tangan. Ternyata May ada di dalam. Sax lalu menghampiri.
“Oh ada ruangan juga di dalam?”
“Aku lebih suka di dalam, ada beberapa sudut yang terisolasi, tidak banyak orang lewat atau tidak mengharuskan kita untuk memandang banyak orang. Cocok jika ingin sendirian.”
Sax memandang sekeliling. “Tapi kan tempat ini sedang sepi? Rasanya cuma kamu saja yang ada di sini?”
“Ya wajar saja sepi, ini kan masih siang. Belum waktunya orang minum kopi. Lagipula kalau kamu perhatikan tempat ini, bukan jalan utama. Tidak banyak kendaraan yang lewat sini. Jadi hanya pelanggan khusus atau orang yang diajak pelanggan lama yang bisa menemukan tempat ini. Yuk masuk.”
May melangkah masuk, Sax memandang sekeliling sekali lagi. Seolah meyakinkan dirinya bahwa tempat itu benar-benar sepi. Dia lalu ikut menuju ruang dalam. Di dalam ternyata ada beberapa meja dan kursi lagi. Semua terbagi ke dalam ruangan-ruangan yang besar kemungkinan dulunya adalah kamar tidur atau ruang keluarga. Bedanya dengan Rud Cafe, tempat ini benar-benar berusaha menghilangkan kesan ornamen rumah. Sax seperti masuk ke sebuah tempat yang kosong, seolah tidak ada orang tinggal. Apalagi tidak ada perabotan yang mencirikan sebuah rumah. Semua ruangan isinya hanya meja dan kursi. Sementara di Rud Café masih ada terlihat rak buku, lemari pendingin, atau televisi yang biasa ada di rumah-rumah.
May masuk ke ruang paling belakang. Di sana terdapat dua meja yang bersisian, bedanya di meja-meja itu tidak terdapat kursi kayu melainkan dua sofa berhadapan. May mendahului duduk, tampak sudah ada bekas cappuccino dan sebuah piring makan yang isinya sudah tandas. Sax duduk.