May tertawa lagi, lalu meneguk minumannya. “Tampaknya kamu cukup ahli di bidang itu. Kamu langganan tetap?”
“Tidak, saya bukan langganan, tapi memang setidaknya dalam lima tahun terakhir ini, dua bulan sekali saya mengunjungi tempat seperti itu.”
“Lumayan sering ya, boleh tahu kenapa? Karena aku yakin ini bukan soal pijit memijit saja, karena kalau seperti itu kamu bisa datang ke tempat pijat tunanetra saja.” May memandang Sax dengan tatapan menyelidik
Sax terdiam sejenak, memilih kata, lalu melanjutkan dengan hati-hati. “Itu adalah cara saya melakukan relaksasi tanpa harus merasakan cinta. Percaya tidak percaya, jujur saja pergi ke tempat seperti itu adalah saat-saat paling tenang yang saya rasakan.”
“Wah, sebegitunya? Maksudnya tanpa harus merasakan cinta?”
“Sentuhan fisik rentan berpengaruh pada perasaan, itu yang saya percaya. Sekarang ada perempuan yang menyentuh dan memijit saya, bukan tidak mungkin ada timbul perasaan tertentu. Dengan pasangan hal itu tidak bisa dihindari karena dengan mereka, kita bertemu hampir setiap hari. Tapi dengan para pekerja seperti itu, kita bisa menghindarinya dengan mudah. Itulah sebabnya saya tidak pernah pakai terapis yang sama dua kali, atau setidaknya tidak dalam jeda waktu singkat. Atau sebenarnya, saya belum pernah benar-benar menggunakan terapis yang sama dalam lima tahun terakhir ini.”
May mengangguk-angguk. “Aku mau tanya hal yang pribadi, boleh ya?”
“Iya, silahkan saja.”
“Kamu tidak merasa bersalah melakukan hal-hal seperti ini?”
“Bersalah kepada?”
“Istrimu, mungkin?”
Raut wajah gusar tampak di wajah Sax. “Maksudnya, kamu mau bicara moral atau bagaimana?”
May menggeleng. “Tidak juga, hanya memeriksa sudut pandang saja. Aku tidak bisa bicara moral, I have sex life, too. Kalau aku menceritakannya, aku juga bisa dihakimi soal moral, bahkan aku bisa saja sudah dihakimi meski hanya baru bicara soal pemikiran atau konsepnya. Aku hanya ingin saling berbagi.”
Sax mengangguk-angguk. “Baiklah. Maaf bukan apa-apa, saya sudah lelah ketemu dengan hakim moral yang kerjaannya menilai perilaku orang lain.”
“Aku bukan tipe orang seperti itu!” rupanya May agak gusar juga.
“Iya, iya, jadi saya jawab ya. Perasaan bersalah ada, tapi dulu ketika awal-awal melakukannya. Sekarang sudah tidak pernah merasakan hal itu lagi. Tapi tentu saja saya masih merahasiakan hal itu kepada istri. Saya takut dia kecewa atau marah, atau reaksi-reaksi yang tidak terduga.”
“Istrimu, tipe seperti itu?”
“Saya tidak tahu, kadang meski sudah menikah bertahun-tahun, siapapun masih bisa terkejut akan perilaku dan reaksi pasangannya. Selalu saja ada hal baru yang mungkin terjadi.”
“Iya juga sih, jadi kalau orang yang berpacaran sering bingung dengan tindak tanduk pacarnya, itu tidak usah heran ya. Orang yang sudah menikah saja masih bisa begitu
“Sax mengangguk, menghirup kopinya.
“Oh iya, bagaimana sih rasanya menikah?”
“Maksudmu?”
“Menikah? Rasanya… enak? Atau bagaimana? Have sex every night? Atau bagaimana? Ceritakan…”