May mengangguk, meneguk minumannya lagi, lalu memandang Sax. “Cuma penasaran saja, dari awal. Kalau misalnya dalam waktu sekian tahun ini kamu ada kesempatan menghubunginya, akankah kamu lakukan itu?”
Di luar dugaan Sax terdiam. Sax sendiri sebenarnya tadi sejenak merasa mampu menjawab pertanyaan itu, tapi ketika mulutnya terbuka, mendadak dia tidak yakin pada jawabannya sendiri.
“Kamu kok terdiam?”
“Mendadak saya merasa tidak bisa menjawabnya.”
“Kenapa?”
“Itulah, tiba-tiba saya tidak yakin pada jawaban sendiri.”
“Hmm, padahal kamu bisa saja memberikan jawaban asal-asalan.”
“Iya bisa saja, tapi mendadak saya merasa bahwa selama ini saya belum pernah memikirkan itu dan sekarang baru memikirkannya.”
“Keragu-raguanmu itu malah bikin aku jadi ingin lebih banyak bertanya. Apalagi sekarang aku berpikir bahwa persoalanmu dengan Yum lebih dari sekadar suka di masa SMA. Kalau ada waktu dan ingin, kamu boleh cerita.”
Sax menimbang-nimbang sejenak, rasanya dia memang ini mengeluarkan ceritanya, sudah terlalu lama dia pendam dan mungkin perempuan di depannya ini adalah orang yang tepat untuk dijadikan telinga tempat menumpahkan ceritanya.
“Bukan soal itu, tapi kedatangan mimpi soal Yum ini, sebenarnya waktunya tepat… eh atau bukan waktunya tepat, tapi kehadirannya ini memicu sesuatu dalam pikiran saya.”
“Apakah ini bukan soal cinta?”
“Ini soal cinta… mungkin, tapi lebih kompleks dari sekadar cinta kepada A atau B. Ada sesuatu yang penting di sini.”
“Boleh aku tahu?”
“Aduh, bagaimana merangkai katanya ya…”
“Kamu tampaknya kebingungan sekali ya?”
“Memang begitu.”
“Boleh aku bantu biar jawabanmu bisa keluar?”
“Caranya?”
“Aku tanya, kamu jawab dengan singkat…”
“Boleh.”
“Hmm… apakah dulu hubunganmu baik-baik saja dengan Yum?”
“Kami berteman biasa, tapi memang endingnya tidak terlalu baik.”
“Kalian bertengkar?”
“Tidak.”
“Lalu?”
“Dia tiba-tiba saja menjauh dari saya, dan dari seorang teman yang lain. Saya tidak mengerti alasannya, lalau beberapa waktu kemudian saya mendengar kabar bahwa dia menyukai saya. Itu saja.”