Wicked Game

Hendra Purnama
Chapter #23

Apakah Cinta itu Sebuah Takdir Atau Pilihan?

Sax meneguk kopinya, memandang Rud. Lalu menggelengkan kepala.

“Sepertinya Myar itu unik sekali cara berpikirnya.”

“Dia salah satu penulis yang punya pemikiran unik, karya-karyanya tidak terlalu buruk, tapi memang sulit didapat karena memang jarang yang mengenalnya. Wajar, tidak semua barang bagus bisa dijual dengan tepat.”

Pembicaraan berhenti sejenak ketika seorang pelanggan yang baru datang mengajak Rud bicara. Sax mengedarkan pandangan, tampak Café itu mulai penuh, beberapa orang baru mulai berdatangan. Sejak tadi Rud menyapa beberapa orang yang dikenalnya, selebihnya dibiarkan lewat begitu saja. Tapi orang-orang yang dikenal Rud tampaknya cukup banyak.

Sax melirik pelanggan yang sedang mengobrol dengan Rud. Seorang perempuan, mungkin mendekati usia empat puluh. Tapi Sax tidak yakin juga karena perempuan itu sangat cantik, make-up nya tipis, atau hampir tidak mengenakan make up? Kulitnya putih, matanya sipit, mungkin keturunan Tionghoa. Suaranya merdu, tertawanya manis sekali. Matanya jernih dan anting bersusun warna biru yang melekat di telinganya tampak cukup mahal. Dia mengenakan baju yang tak bisa Sax definisikan jenisnya karena dia tidak tahu jenis-jenis baju perempuan, intinya berupa potongan celana panjang dan baju yang serasi baik dari segi warna atau bahan. Ini bukan soal bajunya yang mahal hingga enak dipandang, perempuan ini rasanya adalah tipe orang yang selalu pantas mengenakan baju apapun juga. Ada jenis-jenis manusia seperti itu.

Ketika Sax melirik, perempuan itu mengangguk kecil dan tersenyum padanya. Sax balas tersenyum, dalam hati dia mengakui bahwa senyum perempuan itu manis sekali. Tak lama kemudian, perempuan itu meninggalkan meja bar, diiringi lambaian tangan sekilas pada Rud. Sax menggelengkan kepala sambil meneguk sisa minumannya.

“Cantik…”

Rud tersenyum, “Wajar kamu bilang begitu, laki-laki manapun akan berpendapat sama. Berarti kamu masih normal.”

“Pelanggan lama ya?”

Rud mengangguk. “Iya, namanya Maria. Dia cukup sering ke sini, sudah lebih dari dua tahun.”

“Ini kota kecil, harusnya sih kalau ada perempuan secantik dia, saya mestinya pernah ketemu. Tapi ini rasanya belum pernah.”

“Hei, sekecil-kecilnya kota ini, paling tidak ada dua ratus ribu orang di sini. Susah juga cari orang dalam kumpulan dua ratus ribu massa. Lagipula Maria tidak tinggal di sini. Dia cuma ke sini kalau sedang ada urusan saja.”

“Saya bisa bayangkan kehidupan perempuan seperti dia.”

Lihat selengkapnya