Tempat itu sebenarnya adalah sebuah kedai kopi yang baru berdiri. Beberapa kali Sax mengantar barang ke tempat itu, dia belum melihat kedai kopi itu di sana. Baru di kedatangan kali ini dia melihatnya dan tiba-tiba ingin mencobanya, sedikit berharap kopi di sana enak. Tapi lebih berharap tempat itu jadi sebuah tempat pelarian yang lumayan menyenangkan baginya.
Tapi kini dia tidak sedang sendirian, di depannya ada Yum, memandangi gelas lemon tea panas pesanannya yang baru datang. Dia menggerutu, “Pelayan di sini harus training lagi.” Ujarnya sambil mencabut sedotan dari dalam gelas. Yum menekuk wajah masam.
"Kenapa?”
“Minuman panas itu tidak boleh diberi sedotan…”
“Oh iya? Saya baru tahu.”
“Memang begitu sih aturannya. Tapi bukan aturan yang populer.”
“Berarti kopi panas juga tidak boleh ya?”
“Aku jarang lihat kopi panas diberi sedotan.”
“Saya melakukannya sekali. Waktu itu saya ke luar kota dengan teman, dan sedang diam di rest area. Saya beli kopi instan di swalayan dekat situ, dan kamu tahu kan dalam kopi instan selalu ada pengaduk plastik? Yang warna coklat tua biasanya. Kan bagian tengahnya bolong. Saya sering menggunakan pengaduk itu sebagai sedotan, iseng saya menyedot minuman. Tapi teman saya tadi menertawakan, katanya, ‘masa minum kopi pakai sedotan?’”
Yum tersenyum mendengar cerita itu. “Ya memang tidak lazim saja sih minuman panas dikasih sedotan.”
Sax mengangguk, sedikit merasa kehilangan topik pembicaraan. Dia tidak tahu banyak tentang sedotan, jadi agak sulit mencari sambungan untuk topik berikutnya. Inilah salah satu bagian dari mengobrol yang paling Sax benci. Saat topik sudah habis, sebenarnya tidak ada alasan lagi untuk dua orang saling bicara. Tapi demi keinginan bicara yang mendesak, siapapun di antara mereka harus mencari topik baru untuk dibicarakan, dan salah satu seni bicara adalah mencari sambungan agar kedua tema tersebut bisa tersambung.
“Tapi sudahlah, kita lupakan soal sedotan ini. Maaf ya…” Ternyata Yum yang pertama bicara.
“Lho, kamu tidak perlu minta maaf…”
“Kadang aku bikin orang bingung dengan omonganku. Kamu juga kan?”
Sax menggeleng, “Tidak juga, saya bisa ikuti arahnya. Tapi memang tidak bisa menanggapi banyak karena saya tidak tahu soal sedotan tadi.”
“Itu dia makanya aku minta maaf!”
“Oke, baiklah…” Sax mengangguk, dia agak heran mendengar tensi suara Yum yang meninggi. Sax mengedarkan pandangannya, sekadar mengambil jeda di tengah obrolan. Tapi lalu dia memandang Yum lagi.
“Jadi kamu sering ke situ?” Sax bertanya sambil menunjuk tempat tadi mereka bertemu.
Yum mengangguk. “Beberapa kali sini, kamu?”
“Saya juga sudah beberapa kali, tapi baru sekarang kita bertemu ya.”
“Iya, kebetulan waktunya pas. Tadi aku kira bukan kamu. Kukira cuma pekerja yang kebetulan menghalangi jalan. ” Yum tersenyum.
“Oh ya, jadi tadi saya menghalangi jalan ya?”
“Iya!”
“Tidak apa-apa, kalau akhirnya begini, saya kira ada untungnya juga kamu menghalangi jalan."
Yum tertawa kecil, tak menjawab, hanya meneguk minumannya. Tak lama kemudian pesanan mereka datang. Cuma Sax yang memesan makanan. Yum tidak memesan apapun kecuali minuman.
“Kamu tidak makan?”