Sore itu, Sax dan May lagi-lagi berhadapan di meja yang sama di Lakona Koffie. Bedanya, sore ini tempat itu cukup penuh oleh pengunjung. Seperti kata May, sore hari adalah tempat orang-orang datang ke sini selepas penat bekerja atau kuliah. Tapi beruntung, mereka masih bisa menduduki tempat yang dulu, sebuah kursi di ujung ruangan yang cukup terisolir dari tatapan mata dan dari lalu lalang manusia. Sax mulai menyukai tempat itu. Terlebih lagi, dia menyukai kursi itu.
“Kamu mulai suka tempat ini ya?”
“Iya, saya mulai suka, dari mana kamu tahu?”
“Kamu kelihatannya mulai enjoy dengan suasana di sini.”
Sax memandang sekeliling. “Saya suka sudut ini, terpencil, jauh dari orang-orang lewat.”
“Ya, kecuali kalau ada orang yang duduk di sebelah sana.” May mengerling sofa yang ada di sisi ruangan lain. Ruangan di ujung ini memang berisi dua set sofa dan kursi.”
“Apakah ada orang yang ingin duduk di sini? Tampaknya meski tempat ini mulai banyak orang, tidak ada yang ingin duduk di sini.”
“Buat beberapa orang, ruangan ini memang terlalu jauh atau apalah, terutama tidak ada jendela, jadi ini jelas bukan ruang yang layak buat merokok. Tapi bukan berarti tidak ada yang suka duduk di sini. Kemarin lusa aku di sini, tepat di kursi ini, bersama pacarku, di sebelah sana ada dua orang, laki-laki yang aneh. Aku bahkan sampai merasa agak terganggu.”
Sax tersenyum. “Informasi tadi meninggalkan sedikitnya tiga pertanyaan.”
“Apa saja?”
“Anehnya bagaimana? Terganggunya kenapa? Dan kamu punya pacar?”
May tergelak mendengar pertanyaan Sax. “Kujawab yang terakhir dulu ya, memang aku punya pacar, apa kamu kira selama ini aku single? Aku punya pacar, tentu saja. Tapi kata pacar sebenarnya agak terlalu berlebihan sih, mungkin kamu bingung, tapi nanti saja kujelaskan.”
“Oke, jelaskan nanti ya?”
“Tidak masalah.” May menjawab seolah itu adalah bagian paling tidak penting di dalam rangkaian informasi yang baru saja diutarakannya. “Jadi kedua lelaki itu, apa ya, aku merasa mereka itu semacam sales kendaraan, mungkin sales mobil? Entahlah, tapi sepanjang mereka duduk di sana, mereka terus menelepon atau membahas harga mobil. Tapi itu dia, mereka bicara seperti bisikan yang keras. Mengerti tidak maksudku? Bisikan, tapi keras, atau sengaja dikeraskan. Entah kenapa cara bicara mereka itu malah bikin aku terganggu.”
“Itu yang bikin kamu terganggu?”
“Ya, dan… kalau aku bersikeras bilang 'ya' juga tidak tepat karena kan ini ruang publik, di ruang publik orang bebas melakukan apapun asal tidak mengganggu orang lain. Iya kan? Sebenarnya mereka tidak mengganggu aku secara langsung, tapi aku terganggu.”
“Terganggu karena cara bicara mereka?”
“Janji tidak menyalahkan jawabanku?”
“Ya…”
“Sebenarnya, cara bicara mereka tidak benar-benar menggangguku. Kupikir, aku malah terganggu karena mereka terlalu lama di sana.”
“Lho, kan ini….”