Setelah selesai, May melangkah menuju ke satu pojok yang tersembunyi, Sax mengikuti, ternyata ada sebuah lift yang memang tidak terlihat dari area resepsionis tadi.
“Liftnya di sini, kita ke lantai empat.” May menunjukkan kunci kartu di tangannya, Sax melihat di sana tertera angka 412. Tidak banyak bicara, mereka segera menuju ke lantai empat. May yang mengoperasikan semua, Sax hanya diam saja. Dia seperti ingin melihat sampai mana May melakukan rencananya. Lagipula, May juga tampaknya tidak keberatan.
Di dalam lift, mereka berdua tidak banyak bicara. Pintu lift terbuka. Ternyata kamar 412 ada di dekat pintu lift itu. May mendahului Sax menghampiri pintu, menggesek kunci kartu, lalu mendorong pintu. Ia masuk dan menyelipkan kunci kartu di tempat yang disediakan, ampu dan AC menyala. Sax melangkah masuk, May membuka jaketnya dan dengan santai duduk di kasur. Kamar itu terisi kasur jenis double bed, sebuah televisi flat, kursi dan meja kayu. Sekilas pandang Sax melihat kamar ini kekurangan colokan listrik. Biasanya hotel-hotel seperti ini adalah hotel lama yang difungsikan kembali, sebab semua bangunan hotel baru akan mementingkan colokan listrik dan jaringan internet.
Sax tidak tahu apa yang harus dilakukan. Hanya ada satu kasur di sana, dan May sudah lebih dulu ada di sana, haruskan aku duduk di sebelah May? Sax memandang May yang memegang remote televisi. Dengan santai dia memindah-mindah saluran. Tampak sekali hanya perbuatan iseng. Tak lama May menoleh ke arah Sax. “Duduk di sini, kamu kelihatannya canggung sekali. Belum pernah ke hotel sebelumnya?”
Sax menggeleng. “Eh maksudku... pernah, tapi selalu saat ada kegiatan di luar kota, kalau ke hotel tanpa rencana seperti ini belum pernah.” Ujarnya, tapi dia tetap duduk di sebelah May, ikut memandangi televisi yang salurannya tetap berganti-ganti. Sax tidak keberatan karena dia juga tidak ingin menonton acara apapun.
“Aku cukup sering melakukan ini, entah sendirian, entah dengan teman. Atau pacarku. Menginap di hotel, dan sudah beberapa kali juga di hotel ini."
Sax mengangguk-angguk. “Boleh tahu kenapa?”
“Hotel buatku adalah tempat privasi, yang mana aku mau membayar untuk mendapatkan hal itu.”
“Rumah?”
“Kalau kamu tahu rumahku, rumah kostku… tidak ada privasi di sana. Mungkin kita bisa mengunci pintu dan melakukan apapun, tapi kita tidak bisa mengunci pintu begitu saja tanpa sekian menit ada yang mengetuk. Teman-teman kost kadang menyebalkan juga.”
Sax diam, dia tidak tahu harus membahas apa. May tampaknya mulai bosan memainkan remote televisi, dia setengah melompat turun dari kasur. “Aku ke kamar mandi dulu.”
Seiring May masuk ke kamar mandi, Sax merebahkan diri di kasur, setengah kakinya masih menjuntai dan kepalanya ada di tengah-kasur. Ia memilih sisi kiri. Dirinya benar-benar tidak tahu apa yang harus dilakukan. Menonton televisi pun sudah mulai malas. Dia terdiam. Tak lama kemudian May keluar dari kamar mandi, lalu ikut merebahkan diri di sisi kanan yang kosong, tapi dia merebahkan diri dengan posisi berlawanan sehingga kepala mereka sejajar namun badannya ke arah yang berbeda.
“Ini juga yang kulakukan dengan pacarku kemarin, kami mengobrol dengan posisi seperti ini, berjam-jam.” May bergumam
“Berjam-jam?”
“Kami menginap di sini, kami mengobrol sampai subuh.”
“Hanya mengobrol?” Sax bertanya sambil tertawa
“Hei… dasar orang tua, kolot!” May balas tertawa
“Siapapun akan menduga seperti itu kalau tahu dua orang berpacaran menginap di hotel.”
May mengangkat bahu. “Kenapa sih kita mesti selalu peduli pada pendapat orang? Perbuatanku ini tidak merugikan siapapun.”
“Jadi kalau begitu kamu tidak suka ya pada penggerebekan hotel-hotel oleh Polisi?”
“Oh, aku menentang itu sejak awal. Itu kan cuma kerjaan yang dibuat oleh moralis-moralis munafik. Kalau ada hubungannya dengan ritual ibadah boleh lah, misalnya sedang bulan puasa atau kalau lokasinya di samping tempat ibadah. Aku mengerti karena beberapa orang kadang perlu disediakan lingkungan yang tepat supaya ibadahnya benar. Tapi kalau tidak ada hubungannya dengan itu semua, aku tidak habis pikir apa urusannya menggerebek? Apalagi, yang mereka gerebek sebenarnya bukan hanya orang-orang yang berhubungan seks di luar nikah, tapi juga orang-orang yang hanya sekadar berduaan di dalam kamar dengan lawan jenis. Itu agak menyebalkan karena aturan dari mana kalau kita berduaan di dalam kamar itu harus membuka pintu lebar-lebar supaya tidak dicurigai? Bukannya lebih baik mereka bersihkan otak mereka yang sering curiga, daripada mengurusi apa yang dilakukan orang di dalam kamar.”
“Dalam sudut pandang saya, pemikiran itu ada benarnya, tapi ya itu aturan negara ini.”
“Yang membuat aturan itu moralis munafik, bukan cuma karena… aku tidak percaya mereka tidak pernah selingkuh atau apapun juga, tapi karena mereka sudah membuat sebuah aturan yang mengatasnamakan apa? Agama? Agama yang mana? Di negara kita agama itu banyak. Jangan dilandaskan pada satu agama saja dong, lalu semua harus mengikuti seolah itu agama mereka.”
“Tapi kan semua agama juga menentang perselingkuhan…”