Wicked Game

Hendra Purnama
Chapter #32

Sebuah Hati yang Terbuka dan Bagaimana Sebuah Buku Bisa Jadi Penanda

Sax memandang kotak terakhir yang diangkut oleh petugas gudang. Kiriman terakhir hari ini dan dia bisa pulang. Hari ini cukup melelahkan karena dia mengirim barang sampai ke enam konsumen, biasanya hanya satu atau dua. Sax menghampiri petugas yang membawa papan dada, membubuhkan beberapa tanda tangan bukti pengiriman di form yang tersimpan di sana. Lalu menyodorkan tanda bukti pengiriman barang. Petugas itu menandatangani dengan wajah datar. Sax tidak peduli, semua adalah rutinitas belaka, tidak perlu dramatisasi.

Ketika itu teleponnya berdering. Dari Yum, Sax segera mengangkatnya.

“Mau ketemu tidak?” Yum langsung menodongnya dengan pertanyaan

“Ketemu, di mana?”

“Sedang sibuk ya?”

“Baru selesai antar barang.”

“Terus mau ke mana lagi?”

“Tidak ada rencana kemana-mana.”

“Mau ketemu?”

“Di mana?”

“Kalau mau ketemu, nanti aku kirim alamatnya, Kalau tidak mau ketemu ya tidak apa-apa. Aku tidak mau merepotkan.”

Sax menimbang-nimbang, sekali lagi dia kurang suka dengan perencanaan yang serba mendadak. Apalagi sebenarnya ia sedang tidak memegang cukup uang, sehingga akan kesulitan jika Yum mengajak bertemu di tempat makan. Tapi, dia sekaligus juga penasaran akan ajakan seperti ini. “Oke, ketemu di mana?”

“Coffee and Books Café…”

“Di mana itu?”

“Aku kira kamu tahu…”

“Tidak.”

“Ya sudah, lokasinya kukirim ya.”

Sax memandang layar ponselnya, tak berapa lama ada pesan masuk dari Yum, berisi lokasi. Sax membukanya, mengerutkan kening melihat semua foto-foto lokasi di sana. Dia tidak pernah tahu ada tempat itu di kota sekecil ini. Sepertinya menarik.

Sax pun segera menaiki mobilnya dan melaju. Dia tiba-tiba ingin menikmati secangkir cappuccino, dan dia baru sadar juga kalau akhir-akhir ini dirinya cukup lama tidak pergi ke café atau kedai kopi yang cukup nyaman. Mungkin ajakan Yum ini ada baiknya juga dipenuhi. Sax sedikit banyak penasaran juga dengan tempat yang dijanjikan itu.

Sembari menyetir, ia terus memperhatikan peta lokasi. Mobil sengaja dikemudikan perlahan. Sesekali matanya melirik kanan-kiri berharap menemukan apa yang diinginkan untuk melepas rasa lelah yang mulai tidak bisa diajak kompromi. Sampai akhirnya ia tiba di lokasi. Coffee and Books Cafe, tulisan yang cukup jelas terlihat dari dalam mobil yang dikendarainya.

Sax segera memelankan laju mobilnya dan memasukannya ke area parkir. Tempat itu cukup kecil, hampir seukuran dengan Kedai Hitam Putih. Sax turun dari mobil boksnya, melangkah ke dalam. Tapi urung ketika melihat Yum duduk di sayap kanan café itu. Dia mengambil kursi di teras luar. Sax melangkah ke sana. Yum melihatnya, tersenyum. Sax mengangguk dan duduk.

“Sudah pesan?” Tanya Yum.

“Belum…”

“Pesan dulu aja.” Yum menyodorkan buku menu.

Sax mengangguk, melihat buku menu. Mengira-ngira uang di sakunya. Sepertinya masih cukup untuk satu atau dua menu. Dia memanggil pelayan. Segelas cappuccino dan satu porsi kentang goreng ia pesan. Pelayan pergi. Sax melirik Yum yang sedang membolak-balik sebuah buku di depannya.

Ugly Love, Coolen Hoover.” Sax membaca judul di sampul. “Kamu baca buku itu?”

Yum menggeleng, “Bukan, buku ini sepertinya punya pelanggan sebelum aku. Pelayan lupa membereskan. Aku tidak suka baca novel. Pernah sih baca tapi sama sekali tidak menikmati. Tadi aku coba baca sedikit, tapi ya… begitu deh.” Yum tersenyum sambil meletakkan lagi buku itu di meja.

“Jadi kamu lebih suka baca buku macam apa?”

“Buku motivasi, buku bisnis? Entahlah… Sebenarnya aku suka baca tapi juga tidak terlalu suka sampai harus menyempatkan diri membaca. Aku membaca ketika sedang ingin saja.” Ujar Yum

Obrolan sejenak mereka terputus karena pelayan datang, ternyata pesanan mereka berdua datang bersamaan. Cepat sekali, pikir Sax. Mungkin karena aku hanya memesan makanan yang sederhana, dan... Sax melihat pesanan Yum, lagi-lagi dia tidak pesan makanan. Pantas cepat.

Lihat selengkapnya