Wicked Game

Hendra Purnama
Chapter #34

Secangkir Kopi yang Harusnya Tak Pecah

Perasaan aneh kadang muncul di saat-saat yang tak tepat. Dan kadang tak ada penjelasan yang tepat untuk mendefinisikan sebab-sebabnya. Seperti saat ini, entah kenapa Sax selalu merasa sang istri sedang mengawasi dirinya. Perasaan itu timbul begitu saja setelah pertemuan dengan Yum, dan makin kuat setelah pertemuan mereka di toko buku kemarin.

Sebenarnya istrinya ini, dalam artian tertentu membuat nyaman karena tidak banyak ikut campur. Dia sosok yang introvert, juga tidak suka keributan; pun selalu percaya pada suaminya. Jadi tidak mungkin dia mengetahui tentang hubungannya dengan Yum. Namun rasa was-was tidak bisa dipungkiri. Dan perasaan ini membuat Sax selalu waspada, menjaga semuanya nampak biasa dan baik-baik saja.

Sejujurnya di hati Sax, sejak pertemuan kembali pertama dengan Yum, ada hal yang membuatnya lebih bergairah dalam menjalani hidup. Hari-hari yang datar, kini terasa lebih berwarna. Sosok yang ceria dan cerita-cerita tentang hidup Yum, seolah menjadi warna baru untuk Sax. Setiap hari keduanya selalu berbagi kabar. Entahlah Sax selalu merasa ada yang kurang jika tidak mendengar kabar dari Yum. Padahal saat ini Yum bukan siapa- siapa Sax. Namun ada degup yang sulit dipungkiri jika menyebut atau sekadar mengingat Yum. Pembawaan Yum yang pandai mencairkan suasana dan mencari topik pembicaraan membuat pertemuan terasa hangat dan tidak kehilangan topik obrolan. Dengan Yum apapun bisa menjadi bahan pembicaraan yang seru.

Dari dalam ranselnya, Sax mengeluarkan novel yang diberikan Yum. Membaca judulnya saja cukup membuat Sax tersenyum, ‘May Be Someday’. Yum berhasil membuat Sax merasa diperhatikan. Yum seolah tahu jika sudah beberapa bulan ini Sax sudah jarang ke toko buku untuk menghadiahi diri sendiri dengan buku bacaan baru. Ah, mungkin Yum bukan “tahu”, dia hanya berbuat dengan tepat.

“Abang, ini kopinya.”

Suara istrinya. Sax terperanjat, sekaligus terkejut kenapa dia terperanjat. Dia tidak sedang melakukan sesuatu yang terlarang. Dia hanya sedang telungkup di sofa sambil membaca novel. Itu bukan sesuatu yang salah. Tapi dia tetap terperanjat mendengar suara istrinya.

Sax melirik. Istrinya tampak sedang menaruh cangkir berisi kopi di atas nakas. Wangi kopi itu menguar, sedikit dapat meregangkan otot-otot kepala yang mendadak menegang. Sax membalas senyum manis istrinya.

“Novel baru?”

“Iya…”

Istri duduk di samping tempat tidur. Sax melirik dirinya merasa, seolah sedang mencurigainya. Tapi dirinya berusaha menepis dan meyakinkan bahwa semua hanya perasaan biasa saja.

“Ceritanya apa?”

“Ini? Cinta…”

Sax menjawab seperlunya, dia kembali berkutat dengan bukunya, atau paling tidak agar istrinya tahu dia sedang sibuk membaca.

“Diminum kopinya bang, nanti dingin.”

Sax segera mengangguk dan mengambil cangkir kopi itu, menyesapnya. Semata-mata agar istrinya segera diam, istrinya tampak melirik sampul buku

“Tumben, belanja buku?”

“Iya…”

“Kapan ke toko bukunya?”

“Beberapa hari lalu.”

Sax sulit fokus. Suasana terasa tidak nyaman dan Sax mengurungkan niatnya membaca. Lalumenaruh buku itu di atas nakas. Namun istrinya tiba-tiba mengambil novel itu. Sax jadi serba salah. Dia mengulurkan tangan, meminta bukunya lagi

“Sini, abang mau lanjut baca!”

“Kok aku nggak boleh lihat?”

“Siapa bilang tak boleh?”

“Itu langsung diminta, padahal dibuka saja belum.” Istrinya agak merenggut, tapi dia menyerahkan juga buku.

Lihat selengkapnya