“Berapa kali kamu sudah berhubungan seks dengan teman?”
“Sebenarnya aku tidak suka pertanyaan itu. Apa bedanya satu atau dua kali? Lima atau sepuluh kali? Yang penting adalah kamu tahu alasan aku melakukannya.”
Sax mengangguk. “Saya terkesan pada pola pikirmu, saya sendiri tidak sampai sebegitunya. Sebenarnya apa sih yang kamu cari?”
May mengangkat bahu. “Kesenangan? Ketenangan? Sebuah rasa yang nyaman ketika tahu kamu sedang bersama dengan orang yang kamu percaya? Aku memerlukan itu, tidak peduli apakah orang lain mengerti atau tidak…”
“Ya, tapi, saya kira seks tetap akan meninggalkan jejak. Tidakkah kamu takut ini akan berlangsung lebih jauh dari sekadar petualangan?”
“Aku punya rambu, partnerku pun aku buat mengerti akan rambu itu. Itu aturan mainnya di awal. Kalau dia tidak sepakat, aku tidak suka, kalau aku tidak suka maka ya tidak akan terjadi apa-apa.”
“Kamu yakin bisa mengendalikan orang sampai sebegitunya?”
“Karena itu temanku sedikit, aku cuma ingin berteman dengan orang yang bisa sepemahaman denganku, dan orang yang bisa mengontrol diri. Karena bentuk hubungan seperti ini sangat perlu pengontrolan diri.”
“Bukankah itu beresiko?”
“Kamu diam saja di rumah pun ada resikonya.”
Sax tertawa mendengar jawaban itu, tapi ya dia tidak sedang dalam posisi untuk membenarkan atau menyalahkan May. Lagipula, untuk apa menyalahkan? Tidak ada gunanya. Sax memandang May. “Apa saya juga bisa seperti itu?”
“Maksudnya?”
“Entahlah, saya tertarik pada kata petualangan.”
May menimbang-nimbang sebentar, memandang Sax. “Aku tidak tahu, aku belum tahu. Aku boleh ikut menginap di sini?”
“Ya boleh saja.”
“Kamu sewa kamar ini berapa malam?”
“Satu malam saja.”
“Ya sudah, besok aku pulang. Sekarang sudah malam, aku ingin tidur.”
May lalu membereskan beberapa bungkus makanan yang masih bertebaran di kasur. Meminum eberapa teguk, lalu berbaring. Menatap langit-langit. Sementara Sax masih menghabiskan cheeseburger. Membuang bungkus makanan itu. Dia lalu berbaring bersisian dengan May. Mereka berdua menatap langit-langit. Tidak bicara.
May mengeluarkan ponselnya, memutar satu lagu. Terdengar Wicked Game mengalun, May melirik. “Kamu masih ingat lagu ini?”
Sax berpikir sejenak, “Wicked Game kan?”
“Ya…” May mengangguk. “Kamu pernah dengarkan lagu ini lagi setelah dari Rud kemarin itu?”
“Tidak, baru sekarang dengar lagi…”
“Berarti kamu tidak pernah memperhatikan liriknya dong ya?”
“Memang ada apa dengan liriknya?”
May terdiam sejenak, merenung-renung. “Buatku, lagu ini menggambarkan kekecewaan yang dalam, lebih spesifiknya lagi kecewa yang dalam karena cinta.”
“Begitu ya?”
“Iya, kamu perhatikan deh liriknya, di sana ada kalimat-kalimat semacam I don't want to fall in love, this girl is only gonna break your heart, dan penutupnya… Chris bilang Nobody loves no one.”