“Maaf ya, sama sekali belum ada yang bisa dihidangkan, cuma ada ini coklat panas dengan sedikit creamer. Kamu mau kan?"
Sax menerima cangkir keramik yang disodorkan Yum. Wangi coklat Belgian begitu terasa, mengendurkan otot-ototnya yang tegang.
"Gimana?"
"Hemmm ... masih banyak yang perlu dipindahkan dan ditata, nih."
Yum terbahak. "Coklatnya!
Sax tertawa. “Oh, saya kira coklatnya.”
Sejenak suasana mencair di antara mereka. Sax memperhatikan sekitarnya. “Rumah ini, kamu dapat dari mana?”
“Agen properti.”
“Rencananya memang mau tinggal sendirian di rumah sebesar ini?" Sax tidak bermaksud menyelidik, hanya berusaha mencari topik saja untuk bicara.
“Ya,” jawab Yum diiringi anggukan, “Lebih senang seperti ini, tinggal di rumah baru, nggak ada bayangan masa lalu.”
“Eh, saya tidak bermaksud membelokkan ke soal pribadi lho, cuma mau tanya soal rumah saja.”
“Santai…” Yum menaruh cangkirnya, “Aku sudah biasa melakukan apa-apa sendirian. Bahkan saat dulu masih menikah, semua sendirian.“
Sax tidak menanggapi, baginya masuk ke dalam kehidupan pribadi seseorang kadang membuatnya tidak nyaman. Tapi kalau orang itu yang bercerita dengan sendirinya, tentu dia tidak bisa menolak. Dia hanya bisa mendengarkan.
“Bagaimana kalau beres-beresnya kita mulai sekarang?” Sax mengusulkan.
“Kamu lagi buru-buru?”
“Tidak juga, tapi lebih cepat mulai kan lebih cepat selesai.”
“Oke…”
“Apa yang bisa saya lakukan?”
“Apa ya… Oh, tolong pindahkan kardus-kardus itu ke kamar.” Yum menunjuk tumpukan kardus di pojok ruangan, “Isinya pakaian dan macam-macam properti kamar tidur”
“Ada yang pecah belah?”
“Tidak.”