Tempat ini adalah sebuah kota kecil yang buntu. Itulah mengapa Sax menyebutnya kota pantat botol. Karena kota ini, tidak pernah menjadi kota persinggahan atau persimpangan. Ini adalah kota paling ujung di pulau ini. Tidak ada tempat lain yang bisa disinggahi setelah kota ini. Sehingga jika orang tidak benar-benar ingin datang ke sana maka ia tidak akan datang ke sana. Kota pantat botol. Seperti sebuah botol yang buntu. Satu-satunya yang bisa dilakukan orang yang datang ke sini hanya berdiam atau kembali lagi ke tempat asalnya.
Pintu masuk kota ini ada di sisi barat dan ujungnya ada di timur. Ujung timur ini berupa sebuah dermaga yang menghadap laut. Jangan pernah mengharapkan pantai pasir putih. Semua pantai di sini adalah pantai bakau. Pemandangan pantai di tempat ini jika bukan berupa deretan pohon bakau yang sudah berusia ratusan tahun, pasti adalah dermaga tempat kapal bertambat.
Di sinilah Sax berada sekarang. Duduk dengan kaki menjuntai di pinggir dermaga. Hari masih sangat pagi, matahari baru akan naik. Di langit masih ada sisa-sisa malam yang terganggu cahaya merah fajar. Sax memandang langit yang kemerahan itu. Angin pantai di pagi hari begitu dingin menusuk pori-pori, Sax mengeratkan jaketnya. Meski sedang menunggu, Sax memilih untuk tidak memeriksa jam tangannya. Biarlah kalau dia datang maka dia datang. Sax hanya menunggu dan dia berusaha tidak datang terlambat, apalagi membuat seorang perempuan menunggu terlalu lama. Memang dugaannya benar, orang yang ditunggunya datang terlambat. Tapi dia tidak keberatan.
Sax terus diam memandang langit timur. Menikmati cahaya keemasan yang jatuh ke laut, membentuk garis lurus beriak menuju horison. Sampai akhirnya ada satu panggilan terdengar dari belakangnya.
“Hai…”
Sax menoleh, wajah Yum, tersapu cahaya keemasan yang baru keluar. Sax terpana. Wajah itu… sukar dilukiskan dengan kata-kata. Tapi Sax tiba-tiba saja merasa sangat beruntung pernah mengenal Yum.
“Maaf aku terlambat…”
“Sudah tidak apa-apa.”
“Sudah lama?”
Sax menggeleng. Yum tersenyum dan duduk di sebelah Sax. Mereka, dua orang yang duduk di tepi dermaga saat fajar keemasan tiba. Mereka berdua, memperhatikan cahaya merah yang jatuh ke laut, beriak menuju cakrawala. Mereka berdua, memperhatikan sebuah perahu nelayan yang melayu hingga hanya tampak titik hitam di kejauhan. Mereka berdua diam, tapi diam yang menenangkan.
Lama kemudian, Sax menoleh, memandang Yum dari samping. “Bagaimana kabarmu?”
“Aku? baik-baik saja. Aku selalu baik-baik saja. Cuma sekarang mungkin sedang perlu teman bicara. Itu saja.”
“Saya juga selalu siap jadi telingamu.”
Yum tidak menjawab, hanya tersenyum sambil terus memandangi laut.
“Tapi kamu harus cerita Yum. Jangan diam saja. Saya bukan cenayang yang bisa tahu isi hati orang.”
Yum mengangguk-angguk, pandangannya jatuh ke air di bawah dermaga. “Mungkin aku akan cerita, tapi mungkin juga tidak.”
“Maksudnya bagimana?”
“Aku… sedang perlu teman bicara, tapi aku tidak merasa perlu cerita-cerita juga ke orang setiap masalahku, biar aku simpan sendiri saja. Tidak ada gunanya membicarakan masalah ke orang lain… aku cuma perlu teman bicara.”
Sax terdiam, rasanya ada yang sakit ketika mendengar Yum tidak mau menceritakan masalahnya, ada rasa kecewa dirinya belum mendapatkan kepercayaan dan masih dianggap “orang lain”. Tapi Sax tahu, dia tidak harus memaksa Yum mengubah pendiriannya. “Saya tidak menyalahkan pola pikir begitu, tapi kalau satu saat kamu perlu teman bicara, aku siap jadi telinga.”
Yum terdiam lagi. “Sax, menurutmu, apa aku ini termasuk orang yang tidak pandai bersyukur pada keadaan?”
“Kamu perempuan baik dan hebat.” Sax mengucapkan kalimat pertama yang terbayang olehnya.
Yum menghembuskan nafas keras, “Pertanyaannya bukan itu…”
“Saya…”
“Sudahlah, tidak usah dijawab.” Yum menukas.
Sax terdiam, kadang dia masih tidak mengerti harus bagaimana menanggapi Yum, maka yang timbul lebih ke arah ragu atau takut. Dia selalu takut jika perkataannya salah dan malah membuat tersinggung. Begitu juga ketika Yum memotong kalimatnya tadi, Sax memilih diam menurut.