Wicked Game

Hendra Purnama
Chapter #48

Tim Monyet di Sebuah Sore

Sekitar jam tiga sore, Sax baru selesai melakukan pekerjaannya. Tadi pagi, Wil entah kenapa tiba-tiba mengajak bertemu. Jam lima, begitu katanya. Untuk mengisi waktu dua jam, Sax berputar-putar dulu di sekeliling kota. Kebetulan di jam-jam segitu jalanan cukup ramai, Sax sempat berhenti sejenak di pinggir jalan, memesan martabak. Ya, di sini ada tukang martabak langganan yang buka sejak pagi hari. Sax memakan sekotak martabak sendirian di dalam mobilnya sambil minum sebotol air mineral. Dia menjalankan mobilnya perlahan, melihat kesibukan orang-orang yang baru pulang kerja. Biasanya tempat Rud agak lebih ramai, sedikit banyak ada saja orang pulang kerja yang menghabiskan waktu di sana untuk minum kopi sebelum pulang ke rumah.

Tiba-tiba Sax merasa penat. Dia menghentikan mobilnya di pinggir jalan yang sepi, lalu merebahkan sandaran kursi. Tercenung mendengarkan suara sekitar. Masih ada suara mobil dan klakson terdengar, tapi selebihnya sunyi. Hawa panas matahari sore yang meruap membuat mobilnya sedikit hangat. Membuatnya terkenang akan hangatnya kulit perempuan. Yum. Istrinya. Siapapun, bibir May juga termasuk di sana. Lagu Wicked Game bertumpuk dengan Shape of My Heart, ditingkahi My All. Semua campur aduk. Sax merasa kepalanya terlalu penuh. Sebuah firasat yang samar-samar menghampirinya, membuatnya berpikir bahwa sebentar lagi semua tidak akan lagi sama. Sax membuka mata, kepenatan masih terasa. Tapi waktu sudah mendekati jam lima maka dia mulai menjalankan mobilnya.

Jam lima kurang sedikit, Sax memasuki tempat Rud. Di luar kebiasaan, Rud tidak ada di balik meja bar. Tapi Sax tidak mempertanyakan itu, dia melihat Wil sudah ada di dalam. Duduk diam di sebuah meja. Sax melihat Wil tidak sedang membaca buku. Itu adalah pertanda buruk. Wil selalu membawa buku dan membacanya, jarang sekali ia mau menghabiskan waktu dengan terbengong-bengong. Dia juga melihat kalau Wil tidak memesan kopi. Ini jelas pertanda buruk yang lain. Membayangkan Wil tidak meminum kopi adalah kesulitan. Saat itulah Sax tahu bahwa apa yang akan dibahas Wil lebih penting daripada membaca buku atau secangkir kopi.

“Sudah lama?” Sx bertanya

Wil tidak menjawab. Dia menatap Sax dengan pandangan yang berbeda, atau setidaknya Sax merasa begitu. Wil lalu bersandar dan berkata dengan tenang. “Aku capek…”

Sax mengerutkan kening, “Capek?”

“Aku capek lihat ini semua setiap hari, manusia-manusia, lewat-lewat, pergi-pergi, datang-datang, dan kita jadi salah satunya. Setiap pagi kita berdua jadi seperti mereka. Ikut jadi manusia yang pergi kerja ke sebuah kantor dengan segala wanginya, dan sore hari kita juga seperti mereka, pulang kerja dengan segala wangi ketiak.”

“Bau ketiak?”

“Wangi, ketiakku wangi.”

Sax tidak tahu harus bicara apa, dia bingung kenapa Wil memulai pembicaraan dengan hal ini? Sax mulai curiga, apakah Wil sedang mabuk? Sementara itu Wil mulai bicara lagi, panjang lebar.

Lihat selengkapnya