Sore itu, di Rud Café, May dan Sax tampak duduk berhadapan. Suasana di luar hujan, dan café itu tidak cukup penuh. Masih ada beberapa kursi kosong. Musik di dalam café mengalunkan sebuah instrumental dari Jamie Cullum. Sax bermain-main dengan pikirannya sambil mendengarkan lagu itu. Singing in the rain, cocok sekali. Jamie bernyanyi saat hujan sedang turun.
“Aku tahu kamu sedang menyimak lagu itu…”
Sax memandang May, “Hanya sedang memikirkan…”
“Bahwa lagu ini cocok dengan suasana hujan?”
Sax memandang May lama, “Kok kamu bisa menebak dengan tepat?”
May memutar-mutar gelas minumannya, tersenyum, memandang Sax sekilas, “Kamu terlalu mudah ditebak, Sax…”
“Begitu?”
“Ya, aku selama ini bisa menentukan ke arah mana kamu akan bergerak. Kecuali satu hal saja, saat ini…”
“Saat ini?”
“Saat ini, kamu mau apa?”
Sax termenung, dia luar dugaan sangat sulit menjawab pertanyaan ini. Setelah istrinya pergi begitu saja, setelah Yum dimakamkan, Sax baru menyadari ada kekosongan yang begitu besar.
“Entahlah, menurutmu bagaimana?”
“Kenapa jadi tanya balik? Itu hidupmu.”
“Saya tidak tahu jawabannya, dan saya minta pendapat, Itu saja.”
May memutar-mutar gelasnya, memandangi es batu yang mulai mencair. Mengambil satu es batu di gelas, mengunyahnya. Terdengar suara gemeletuk. May bersandar. Memandangi Sax
“Aku tidak mau memberi masukan pada siapapun lagi. Aku sudah capek terlibat dan memikirkan masalah orang.”
“Sejak kejadian kemarin?”
“Kamu tidak perlu tahu sedetail itu. Kamu tidak perlu tahu apa yang aku pikirkan, lagipula kan sekarang aku yang sedang bertanya.”
“Kamu tahu kan apa yang sedang saya hadapi sekarang?”
“Garis besarnya iya…”
“Aku hanya ingin memberi tahu ini, dalam setiap perjalanan hidup, pilihan manusia hanya dua, self-improvement atau self-destruction.”
“Maksudmu bagaimana?”