Will Be Better

Venn Rara
Chapter #3

Tanggung Jawab

Alarm sudah berdering sejak sepuluh menit yang lalu, tetapi sang gadis dengan piyama bermotif awan itu tampak enggan membuka mata. Ia masih nyaman meringkuk di kasurnya yang empuk tanpa memedulikan Tere yang sedari tadi sibuk meneriakinya dari lantai bawah. Dengan setengah hati ia duduk di pinggiran kasur, mencoba meregangkan tubuh. Matanya masih terpejam. Aleeza sangat tidak ingin bangun sekarang. Bahkan ia berpikir ingin bolos saja.

Kesabaran Tere sudah habis. Nama yang dipanggilnya sedari tadi tidak kunjung turun. Bahkan sekadar menyahut pun tidak. Ia mengetuk pintu dengan kasar hingga Aleeza buru-buru membuka pintu.

"Kenapa, Ma?" Tanya Aleeza sedikit panik.

Tere menggeleng-gelengkan kepalanya. Tak habis pikir anak tunggalnya dengan enteng menanyakan itu setelah kurang lebih lima menit ia berteriak untuk membangunkannya. Tere melipat kedua tangannya ke depan dada. "Hari ini hari apa?"

"Rabu?" Aleeza menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

"Jam berapa ini?" Tere menunjuk jam weker yang ada di nakas sebelah tempat tidur Aleeza.

Aleeza menyipitkan mata untuk melihat angka yang ditunjukkan jam wekernya. "Nggak tau. Nggak kelihatan."

Tere tersenyum. Tangannya mulai bergerak, mengarah ke telinga Aleeza. Aleeza berteriak kesakitan. Ia menjauhkan telinganya dari tangan Tere. Mulai mengusap-usap telinganya dan bersikap seolah sangat tersakiti. "Cepat sana mandi."

Aleeza memainkan kedua tangannya, memasang wajah memelas, dan kembali mendekatkan tubuhnya pada Tere. "Ma, gimana kalau hari ini aku nggak usah sekolah. Kayaknya kepalaku pusing deh." Ia kembali memperagakan seolah-olah kepalanya sakit.

Tere hendak mencubit lengan Aleeza tetapi dengan cepat Aleeza melarikan diri menuju kamar mandi. Tere hanya tertawa kecil melihat kelakuan anak satu-satunya itu. Setelah memastikan Aleeza benar-benar pergi ke kamar mandi, Tere melanjutkan pekerjaannya di dapur. Ia sudah membuat nasi uduk spesial dengan tambahan sambal kacang dan telur dadar. Tidak lupa pula ia menambahkan suwiran ayam di atasnya.

Di meja makan sudah tersedia susu vanilla dan beberapa buah segar yang baru saja dikeluarkan dari kulkas. Tere meletakkan tiga piring nasi uduk disebelah gelas susu vanilla yang sudah ia siapkan sebelumnya. Mengetahui sang istri telah selesai menyiapkan sarapan, Daniel segera menghampiri meja makan. Aroma nasi uduk membuat perutnya keroncongan hingga lupa kalau dasi di lehernya belum terpasang dengan benar.

"Enak nih," Daniel hendak memasukkan sesendok nasi uduk ke mulutnya, tetapi tangan Tere dengan cepat mengambil alih sendok yang ada di tangan Daniel.

"Eh-eh.."

Diletakkan kembali nasi unduk yang semula hendak dimakan Daniel. Tere juga menjauhkan sepiring nasi uduk tersebut dari pandangan Daniel. Daniel mengernyitkan dahinya tak mengerti. Apa yang salah?

"Sebentar lagi. Tunggu Aleeza selesai siap-siap baru kita makan bareng." Tere menjawab seperti tahu apa yang akan ditanyakan suaminya tersebut.

Daniel hanya memberikan anggukan kecil kemudian berlalu pergi. Sembari menunggu anaknya selesai bersiap-siap, ia memutuskan untuk kembali memeriksa berkas-berkas yang akan dibawanya ke kantor.

Bayangan tentang apa yang akan terjadi nantinya di sekolah masih menghantui Aleeza. Hal itu membuatnya tidak fokus dan memperlambat gerakannya. Padahal Tere sudah menunggunya sejak tadi. Heran karena tidak biasanya Aleeza lama ketika bersiap-siap. Baru saja Tere hendak menghampiri Aleeza, tetapi Aleeza sudah lebih dulu datang dan duduk di meja makan.

"Papa mana, Ma?"

"Ada, tadi Papamu mau langsung makan. Tapi Mama bilang tungguin kamu dulu. Sekarang mungkin Papa lagi nyiapin perlengkapan kantornya. Kalau kamu mau langsung makan, makan aja. Nanti terlambat ke sekolah."

Aleeza mengangguk. Nanti terlambat ke sekolah. Perkataan Mamanya itu malah semakin membuatnya lesu. Rasanya ingin bolos saja. Pikirannya melayang kemana-mana. Mencari cara agar ia bisa bolos sekolah. Meski dirinya tahu itu adalah hal yang mustahil. Jika orangtuanya tahu ia ingin bolos sekolah, bisa-bisa ia akan dikurung di dalam kamar.

"Loh kok nggak nungguin Papa?"

Aleeza tersadar dari lamunannya. Ia tersenyum kaku dan kembali meletakkan sendoknya ke piring."Hehe... maaf Pa. Yuk kita makan bareng."

***

Ruang kelas begitu hening. Tidak ada yang berani mengeluarkan suara sedikitpun ketika pelajaran fisika sedang berlangsung. Hanya terdengar suara spidol yang bergesekan dengan papan tulis, dan sesekali suara pulpen yang diketuk-ketuk pada meja dikarenakan para murid yang mulai bosan. Pak Yoza sedang menjelaskan materi listrik statis.

Tidak sengaja Edwin menguap, padahal sejak tadi ia telah mati-matian menahan kantuknya. Seketika Pak Yoza langsung menatap kearah Edwin. Edwin memperbaiki posisi duduknya. Badannya dibuat setegap mungkin seolah tidak terjadi apa-apa. Pak Yoza sangat tidak menyukai siapapun yang mengantuk dikelasnya. Itu berarti murid-murid tidak menghargainya.

Lihat selengkapnya