Hari ini Minggu. Bagi Adhitya Wijaya, hari hanyalah nama. Bedanya tipis: Senin sampai Jumat ia adalah akuntan di sebuah perusahaan kawasan industri Rungkut. Berangkat 6.30 pagi, pulang lewat jam sembilan malam.
Sabtu yang katanya libur, ia habiskan mengurus warung kecil sekaligus toko fotokopian dan ATK. Minggu? Sama saja. Rumah lebih mirip tempat transit: tidur, mencuci, setrika, membuat kopi, lalu berangkat lagi.
Warungnya laris manis, apalagi sejak ada tambahan kurir untuk antar pesanan makan siang ke kantor-kantor sekitar Rungkut. Gaji sebagai akuntan jauh lebih kecil dibanding laba warung.
Sabtu kemarin ia baru tiba di warung ketika telepon dari Dokter Faradina masuk. Teman lama sejak SMA itu kini jadi dokter di klinik yang kerja sama dengan kantornya. Nada suaranya mendesakingin bertemu. Faradina memang selalu begitu, kalau ada urusan, harus segera seakan sejam lagi kiamat.
Huru hara itu sudah kemarin. Hari ini Hari Minggu. Masih jam lima, Adhit sudah menyalakan mobilnya. Tidak ada tujuan jelas. Tangannya memutar setir, pikirannya entah ke mana. Biasanya semua langkah hidupnya terjadwal rapi, tapi kali ini dia membiarkan mobil berjalan seperti playlist acak.
Jalanan Surabaya mulai ramai oleh orang jogging. Adhit menepikan mobil, sebentar menatap mereka.
Keluarga.
Kata itu menyergap. Setelah ayahnya meninggal karena kecelakaan di tol saat Adhit masih kuliah semester 2, ia terbiasa sendiri. Adiknya, Andika, ikut tinggal bersama paman di Semarang sejak ibunya meninggal saat Adhit masih berusia enam tahun.
Dua puluh empat tahun tanpa kehangatan keluarga. Dan sekarang, ia benar-benar merasa sendiri… menunggu mati.
Ia tersenyum kecut. Menertawai rasa sentimental barusan, sungguh tidak biasa. Adhit terbiasa menganggap enteng semua urusan kalau itu tentang dirinya sendiri. Dompet kecopetan? Ditertawakan. Beras habis? Dibercandai sendiri: “Nasi kucing kampus lebih hits.” Semua selalu ia bungkus dengan mantra BAIK-BAIK SAJA.
Tapi kali ini berbeda.