WILOKA

Wulan Kashi
Chapter #3

3. Realita Penuh Kejutan

Adhit tersenyum sendiri, menertawakan kondisinya yang tidak jelas saat ini. Saat sampai di IGD, dan ditanya petugas, tentang identitas dan kronologis, dia jawab apa adanya. Dan bersedia menanggung semua biaya perawatannya, bahkan memberi uang jaminan. Padahal siapa dia juga entah. Kenapa tidak lapor polisi dan menunggu ambulans, lalu biarkan saja. Kenapa harus kejebur sampai segininya? Beginilah saat kondisi pikiran tidak dalam mode nggenah. (Nggenah=benar).

Dan lebih lucunya, Adhit malah menelepon sopir kantor untuk mengambil kunci kontak mobil di rumah sakit dan minta tolong memperbaiki ban mobil. Adhit memilih menunggu perempuan tidak jelas tadi. Kalau konyol, harus totalitas, pikirnya.

Kabarnya, perempuan tadi mengalami perdarahan akibat luka di lengan kanan dan kepala bagian kiri, seperti kena benda tajam, dan memerlukan transfusi darah. Siapa yang berupaya mencari? Siapa lagi kalau bukan Adhit, perempuan itu belum sadar.

Senin pagi, Adhit ijin dari kantornya untuk tidak masuk. Ini hal langka karena Adhit dikenal gila kerja. Perempuan itu sudah stabil kondisinya, dan bisa dipindah ke ruang rawat inap biasa. Siapa yang menungguinya? Adhit lagi. 

Suasana di kamar rawat inap lebih tenang daripada di IGD, membuat Adhit lebih mudah hanyut dalam lamunannya kembali. Adhit terdiam memandangi perempuan itu. Tingginya mungkin sekitar 160 cm, rambut acaknya sebahu panjangnya. Kulitnya, mungkin kalau bersih sedikit kuning. Wajahnya, kalau terawat, mungkin bisa jadi cantik. Alisnya tajam, menyambung di atas pangkal hidungnya, menimbulkan kesan tegas. 

Saat perempuan itu sadar, dan membuka mata pertama kali di Senin siang, yang dia lihat adalah Adhit yang memandangnya agak sayu, karena belum tidur sama sekali. Adhit berusaha tersenyum dan beranjak mendekat. Perempuan itu memandangnya kosong.

“Hai, sudah enakan?” tanyanya ramah. Dan perempuan itu masih menatapnya hampa. Tak ada respon apa-apa.

“Siapa namamu?”

Masih diam. Setelah beberapa saat perempuan itu sedikit mengernyit, sepertinya ada sesuatu yang sakit. 

“Ada yang sakit?” 

Kelopak mata perempuan itu mengerjap beberapa kali. Suaranya serak, tapi jelas: “Kepalaku pecah, ya?”

Adhit nyaris tersedak. Ngeri juga pertanyaannya. Tapi hasil CT-scan kata dokter aman, tidak ada perdarahan dalam otaknya. Kalau retak memang ada, di kepala sebelah kanan. 

“Nggak sih, kata dokter cuma ada luka, kena benda tajam, kok bisa?” 

Perempuan itu menatap Adhit beberapa detik. “Kamu siapa?”

“Aku Adhit, yang nemu kamu di sawah.” 

“Ngapain aku di sawah?”

Yo embuh, batin Adhit. (Ya mana tahu)

“Nggak ngerti juga, pokok aku nemu kamu di sawah, pingsan dan udah berdarah-darah,” jawab Adhit sambil memasang ekspresi ngeri.

Perempuan itu mengernyit lagi, Adhit tak ingin mencecarnya lagi, dan menyuruhnya tidur saja. Nanti saat dokter visite, akan dia sampaikan keluhan pusingnya tadi. 

Dan ternyata kesibukan mendadak ini sedikit banyak membuatnya melupakan rasa perih hatinya sendiri.

Kekonyolan berikutnya, perempuan itu tidak ingat apapun tentang kejadian yang menyebabkan dia terluka seperti itu, dan parahnya tidak ingat jati dirinya. Harus ke mana Adhit mengantarnya? Lapor Polisi? Oh no, sepertinya lebih baik Adhit tampung dulu, entah di mana. 

Tidak takut diperkarakan? Jangan lupa, Adhit tidak takut apapun saat ini. Buatnya tidak ada yang lebih parah dari kematian di depan mata. 

Perempuan itu memang tidak serta menurut. Bahkan setelah mau ikutpun, di dekat mobil, langkahnya sempat surut ke belakang.

“Kalau kamu bohong, aku bisa kabur,” katanya setengah mengancam, setengah menenangkan diri.

Adhit mengangguk sambil tersenyum tipis. “Silakan. Tapi aku nggak niat nyakitin kamu.”

Shintya masih ragu. Tapi akhirnya, dengan langkah pelan dan tubuh yang tetap waspada, ia mengikuti Adhit.

Dan Adhit tidak mau ambil pusing, apa perempuan ini cuma pura-pura lupa dan akan memanfaatkan, atau ternyata bagian dari sindikat apapun. 

Adhit menggaruk kepala di dalam mobil, yang sudah diantar oleh sopir kantor ke rumah sakit kemarin.

“Gini… kalau kamu beneran lupa siapa kamu, terus pulang ke mana?”

Perempuan itu diam, menatap kosong ke arah depan. Seakan tidak terlaku berminat melihat wajah Adhit. Ini langka, biasanya perempuan akan terkesima dan mencari perhatian Adhit dengan banyak cara.

“Ya sudah, ikut aku dulu. Jangan khawatir, aku bukan penculik. Aku ini akuntan. Paling jahat pun cuma bisa nipu kalkulator.”

Perempuan itu tak bereaksi apapun, jadi Adhit juga bisa tenang melajukan mobilnya menuju Surabaya.

Yang Adhit pusingkan sekarang tempat tinggal untuknya. Sementara diajaknya perempuan itu ke hotel langganan kegiatan kantor. Bukan tidak tahu risiko pandangan orang kepadanya, tapi karena Adhit sudah cukup pusing dengan berbagai hal yang mendadak menimpanya dalam tiga hari terakhir. 

Begitu tiba di kamar hotel yang dimaksud, dan perempuan itu duduk dengan wajah yang masih agak pucat, Adhit duduk di depannya dengan pandangan kosong. 

Arep tak apakno arek iki (Mau kuapakan anak ini), batinnya bingung. Perempuan itu menunduk saat matanya beradu dengan Adhit. 

“Aku kemarin terpaksa mengarang indah, namamu Shintya. Dan jangan tanya aku terinspirasi dari mana, pokok tau-tau nama itu muncul.” 

Adhit diam menunggu respon, tapi cewek itu masih diam menunduk, hanya sesekali melihat Adhit, lalu memilih membuang pandangan kalau tatapan mereka bertemu. Lalu entah kenapa, sekilas rasa perih beberapa hari kemarin muncul kembali, lalu Adhit tersadar dan menunduk. Dia terlihat menarik napas panjang berkali-kali. Perempuan itu jadi bingung sendiri melihatnya. 

Beberapa saat yang berlalu, menenggelamkan pikiran mereka kepada sesuatu alur yang entah akan bagaimana nantinya. Mereka terdiam, sibuk dengan pikiran masing-masing. 

Seandainya perempuan ini ternyata komplotan perampok, atau pencuri kelas kakap pun mungkin Adhit tidak peduli. Dia lebih memilih untuk berada di dekat perempuan ini, untuk memuaskan rasa penasarannya. Hatinya berkata perempuan ini bukanlah orang jahat. Semoga perasaannya benar. Tapi seandainya salahpun, juga tak mengapa. Mungkin beginilah pola pikir orang yang sedang didominasi putus asa. 

Sejenak dipandanginya perempuan yang sekarang ia beri nama Shintya itu sekali lagi. Ada yang aneh dalam hati Adhit. Entah apa, Adhit tidak bisa mendefinisikan. Jangankan tentang wanita itu. Tentang apa yang dia pikir saja, Adhit sekarang tidak terlalu mengerti. Semua tiba-tiba terasa hambar, kosong, hampa, tidak ada lagi yang ingin dia ingat, pikirkan, renungkan. 

Beberapa menit berlalu dalam keheningan, lalu Adhit beranjak untuk salat, masih di kamar itu. Dan Shintya masih tercenung, sepertinya dia juga sibuk mencerna ini semua. Siapa Adhit? Siapa dirinya? Ada apa Adhit membawanya kesini? Tapi dia sendiri tidak ada clue untuk pulang. 

Setelah salat, Adhit tampak lebih segar dan waras, tidak selinglung tadi saat membawanya ke hotel ini. Beberapa kali dia salah pencet tombol lift. Tujuan lantai 7, tapi baru sampai lantai 3 sudah mau keluar, lalu tersadar, dan terulang di lantai 9. 

Beberapa saat kemudian, Adhit kembali duduk di depan Shintya. Adhit menatap perempuan itu lama-lama.

“Kamu tahu nggak, hidupku belakangan kayak dompet habis kecopetan isinya. Kosong, kering, bikin males buka. Jadi… gimana kalau kita bikin perjanjian gila saja?”

Perempuan itu mengerjap. “Perjanjian gila apa?”

“Menikah.”

Senyap. Lalu AC kamar berdengung lebih keras seolah jadi saksi absurditas itu.

Menikah? Orang ini frustasi, depresi, edan atau sinting? Berapa jam baru kenal, sudah mengajak menikah? Tampilan sih memang nyaris perfect. Tapi sifat? Nanti dulu, dia memang ramah di depan orang. Tapi saat hanya berdua, ekspresinya datar dan agak dingin. 

Tapi, kalau tidak mau, Adhit bilang harus memikirkan cara memulangkan tanpa clue, yang kemungkinan harus berurusan dengan polisi. Dia tidak ada penawaran lain selain menikah. 

“Apa alasanmu sebenarnya?” Akhirnya ada kata-kata yang keluar dari Shintya yang memucat. Dia shock mendengar penawaran Adhit tadi. 

“Nanti kamu tau.” Karena saat ini, aku sendiri belum tahu mengapa segila ini.

“Aku harus tau sekarang.” 

Lihat selengkapnya