Shintya merasa dirinya bukan orang dengan indera keenam yang hebat. Tapi dia bisa merasakan dengan mudah, betapa berurusan dengan Adhit, membuat beberapa orang memandang dirinya penuh selidik.
Orang pertama, adalah Laksmita, yang biasa Adhit sebut Mita. Dia, staf Adhit di kantor, sekaligus istri dari Ronny, sahabat dekat Adhit sejak kuliah.
Di pertemuan pertama, sejak Shintya membuka kamar hotel, tatapan Mita seakan menguliti. Senyumnya memang terpasang. Ramah di permukaan, tapi matanya menyapu Shintya dari kepala hingga kaki. Lebih mirip meneliti ketimbang menyapa. Tak banyak basa-basi, Mita segera mengajak Shintya berkeliling Surabaya, membelikannya baju dan aneka rupa persiapan pernikahannya besok.
Besok lho.
Bukan main bukan, Adhitya Wijaya itu? Dia tidak main-main dengan penawarannya.
Berikutnya, adalah segenap mata yang memandangnya saat menjalani pernikahan secara agama, yang dilaksanakan di sebuah masjid, disaksikan beberapa orang-orang terdekat dari Adhitya Wijaya.
Yang sering Shintya tangkap agak menahan senyum geli, hanya Ronny, dan entah kenapa. Sementara yang lain, hanya memandang Shintya penuh tanda tanya dan nampak heran. Itu juga Shintya tak paham sebabnya.
Begini rupanya menjadi orang asing, di lingkungan asing. Jangankan memahami siapa saja yang ada di depannya. Memahami diri sendiri saja dia masih tak mampu.
Shintya mengamati dirinya dari pantulan jendela masjid tempat akad. Nampak cantik dengan kebaya dan riasan tipis yang membuatnya semakin nampak anggun. Baguslah, tidak terlalu 'kebanting' saat harus bersisian dengan Adhitya Wijaya, yang luar biasa itu.
Shintya mengamati Adhit yang sedang bercengkerama dengan beberapa orang yang mungkin temannya, sejenak sebelum akad. Sosok tampan, ceria, dan ramah itu, entah kenapa sampai usia hampir 30 tahun belum menikah, dan memilih menikah dengan Shintya, yang entah ini.
Secara fisik, Adhit itu memesona. Okelah memang dia tidak sesempurna sosok dalam sinetron, tentang CEO kaya raya, yang tinggi, atletis, kaya raya dan lain-lain.
Bagi Shintya, Adhit itu, manusia "riil". Tidak jangkung amat, hanya sekitar 175 cm. Agak kurus, sama sekali tidak atletis. Kulitnya memang lebih cerah dibanding Shintya. Berkacamata, pandangannya teduh, membuat yang memandangnya mudah saja terpesona. Kecuali Shintya, entah kenapa dia merasa harus waspada dengan sosok satu ini.
Selesai acara pernikahan, mereka berdua langsung menuju rumah Adhit, hanya berdua. Yang lain, tidak ingin mengganggu pengantin baru. Baiklah, siapa saja mereka toh Shintya tidak ingat. Hanya yang namanya Ronny dan Mita yang sementara ini bisa masuk dalam memorinya.
Tak masalah mau dibilang lemot karena sulit menghapal. Peduli apa. Dia lebih memilih berusaha mengingat siapa dirinya saja. Itu lebih berguna supaya dia bisa segera pergi dari Adhit bukan.