WILOKA

Wulan Kashi
Chapter #6

6. Warna Lain Yang Mengejutkan

Hari ini, pagi pertama Adhit berangkat kerja dengan setengah linglung. Bagaimana tidak? Seseorang yang disebut sebagai istrinya ini, sama sekali tidak pernah Adhit bayangkan ternyata seunik ini.

Urusan dapur, nol. Bahkan hal remeh seperti menghidupkan kompor gas saja tidak paham. Tadinya, Adhit berpikir, mungkin dia anak orang super duper kaya, yang semua apa kata ART. Jangan-jangan mengupas salak pun tak paham.

Tapi, kejutan berikutnya adalah, saat Shintya membuka pintu ruang tamu biar udara segar masuk katanya. Dia dengan wajah datar, meminta kunci kontak mobil Adhit. Saat ditanya kenapa, dia cuma memberi kode pada Adhit lewat matanya, ke arah ban depan kanan yang kempes. Tadinya, Adhit memutuskan akan berangkat naik motor saja, tapi Shintya kekeuh mengganti ban saja, biar sekalian Adhit tambalkan yang bocor katanya. 

Dan tahu? Dia lihai saja mengganti ban. Adhit takjub melihat ketangkasan Shintya. Mereka tukar peran kah?

Kesimpulan sementara: Shintya bukan anak sultan. Mungkin anak bengkel yang Adhit paksa  ke dapur. Adhit mendadak berpikir serius untuk membeli APAR untuk berjaga kalau tiba-tiba Shintya meledakkan dapurnya.

Belum lima kilometer di jalan, telepon masuk.

“Dhit, ada orang di luar pagar, bawa bawang. Aku kan nggak pegang kunci pagar.”

Adhit menepuk jidat. Lagi-lagi lupa kalau ada makhluk lain di rumahnya saat ini. 

 “Suruh taruh di warung, Shin. Maaf, lupa kasih kunci cadangan.”

Untungnya Shintya sepertinya tidak hobi tantrum.

                                   ***

Adhit segera berjalan cepat seperti biasa masuk ke kantor, dengan tangan masih lincah sesekali membuka ponselnya. Kuatir ada telepon sewaktu-waktu dari makhluk unik di rumahnya itu. 

Kesendirian terasa sudah identik dengan hidupnya. Jadi mendadak berdua itu rasanya amat sangat sulit Adhit biasakan. Atau mungkin belum terbiasa saja. Tapi, kalau Shintya sudah ingat dan harus pergi, Adhit akan sendiri lagi. Tak mengapa, sepertinya sendiri lebih praktis.

Pekerjaan, begitu melenakan Adhit. Tahu-tahu saja sudah jam istirahat, dan ponselnya anteng. Semoga keadaan rumah aman saja. Selesai salat, langkahnya saat hendak menuju pantry untuk membuat kopi dihentikan oleh Mita, yang senyum senyum tidak jelas.

"Kenapa Mit?"

"Gimana rasanya nikah Mas?" bisiknya usil.

Adhit mengerjap. "Ni, eh," Adhit tergagap.

Mita menahan tawa. Lalu melenggang pergi, ke arah yang sama, menuju pantry, meninggalkan Adhit yang masih terkejut, tak disangka ditanya seperti itu oleh Mita. 

Adhit melangkah mengambang menuju pantry. Di dalam, hanya ada Mita yang membuat teh. Yang lain mungkin memilih ke warung depan atau kantin sekitaran tempat parkir untuk makan siang. Adhit tidak lapar meski tadi tidak sarapan. Banyak hal mengejutkan sepagian ini membuatnya lupa akan lapar. 

Mita terdiam, tapi sesekali matanya melirik Adhit.

"Kamu mau ngomong apa Mit?"

"Ha? Gimana Mas?"

"Kita kenal bukan hitungan hari. Dari wajahmu aku tahu kamu pengen ngomong sesuatu."

Mita melirik Adhit sebentar, tapi kembali memilih menatap cangkirnya. 

"Kapan-kapan aja Mas,"

"Kenapa kok ditunda?"

Ah iya, Mita lupa. Adhit tidak suka menunda. Bahkan, nikah juga mendadak sekali bukan. Tapi, sepertinya tidak untuk semua hal, karena untuk yang satu ini, Mita yakin, Adhit pasti memilih mengelak.

"Tentang kelanjutan MCU,  gimana Mas?"

Adhit terhenyak. Matanya menatap kosong cangkir di depannya. Adhit itu, orang yang murah senyum, ramah dan ceria. Dia, amat sangat jarang terlihat tanpa senyum. Dan kali ini, Mita melihat wajah itu, tanpa senyum. Hati Mita mendadak ikut perih. 

"Eh, Cak, ada perubahan rencana!" Firman mendadak masuk dengan semangat berapi-api. Membuat perhatian kedua orang itu teralihkan dari kepedihan barusan. 

"Bulan depan, kita, ke nikahan Andini naik mobil aja. Kamu sama istrimu berdua, kami semobil isi 6. Kalau capek, kami gantiin nyetir. Jadi, nikahan temen dapet, honeymoon kamu juga dapet Cak,"

Lihat selengkapnya