Malam itu Shintya termangu di balkon lantai dua. Udara dingin, dan Adhit mungkin sudah terlelap. Jam melewati tengah malam, tapi kantuk tak juga datang. Pikirannya malah sibuk mengurai rutinitas Adhit. Berangkat jam enam pagi, pulang hampir selalu lewat sembilan malam, lalu bukannya istirahat malah sibuk meracik bumbu warung—yang letaknya saja Shintya tak pernah tahu.
Rutinitas yang baginya menjemukan, tapi Adhit jalani dengan wajah sumringah. Hanya kantung mata yang kadang gelap, terlihat jelas tiap kali kacamatanya dilepas.
Kadang Shintya heran, apa benar “jajan” yang dimaksud Adhit itu hiburan malam? Lebih sering ia pulang dengan aroma sambal, bukan parfum. Baju kerjanya pun kadang berbekas noda minyak.
Mungkin itulah kenapa teman-temannya sering menyeret Adhit jalan-jalan. Pernah suatu Minggu pagi, setelah berpamitan hendak keluar kota, Adhit tiba-tiba masuk lagi, memaksa Shintya ikut family gathering.
“Males!” jawab Shintya sambil terus mencuci piring. Trauma. Bepergian dengan Adhit berarti masuk arena usil tanpa pintu keluar. Kalau di rumah bisa kabur menjauh, kalau di mobil? Mana bisa.
Adhit menahan senyum melihat Shintya yang masih memunggunginya. “Nggak bisa, ayo cepetan, ditunggu sama yang lain.”
“Yang lain siapa, aku nggak ada urusan sama mereka.”
Adhit mematikan kran di depan Shintya. Dan kalau jarak sudah sedekat ini, Shintya mematung. Gerak tangannya yang sedang mencuci piring langsung membeku. Tak berani memandang Adhit. Bahkan melirikpun tidak. Shintya seperti orang sakit leher. Lurus kaku saja pandangannya.
“Ayo, siap-siap,“ ulang Adhit pelan. Suaranya lembut—dan itulah masalahnya. Sekali Adhit melunak, Shintya kehilangan daya tawar. Ia pun menurut, seperti biasa.
Sepanjang perjalanan, Shintya menyusun strategi. Nanti kalau dia begini lagi, aku akan begini. Tapi teori kalah oleh praktik. Baru saja ia yakin punya jurus penangkal, Adhit melirik, senyum tipis, dan—off. Semua logika bubar, berganti degup jantung yang kacau-balau.
Kesal sendiri, Shintya menepuk dahinya.
“Nyamuk? Makanya yang rajin mandi,” ucap Adhit datar.
Shintya melengos. Lalu pura-pura tidur, daripada disuruh nyetir. Semoga bangun-bangun, sudah di lokasi, batin Shintya.
***
Mereka tertawa riang, menari berputar-putar kecil di bawah semprotan air. Basah kuyup. 3 anak perempuan, 1 anak laki-laki, dan Adhit. Adhit selonjoran setelah membuat anak-anak kecil itu basah kuyup. Dia pun akhirnya ikut basah, karena anak-anak itu membalas dan menciprati Adhit penuh tawa riang, dan Adhit tertawa terbahak juga.
Shintya memotret momen itu dengan kamera DSLR Adhit. Tapi, di balik lensa itu, ada genangan air mata. Entah kenapa, Shintya menjadi sesak melihat pemandangan itu.
Pikirannya jadi membayangkan, apa Adhit pernah mengalami keriangan seperti anak-anak itu? Dia masih usia 6 tahun saat ibunya meninggal. Adhit yang ceria itu, siapa yang tahu, bahwa sehari-hari dia berteman sangat akrab sekali dengan kesepian?
Shintya tak sanggup melihat ke arah Adhit, dia berputar arah mencari pemandangan lain untuk dia rekam.
Pelajaran hari ini, tidak semua penghibur, adalah berasal dari mereka yang terhibur. Bisa jadi dia menghibur orang lain sekaligus menghibur dirinya sendiri. Dan yang paling sering membuat orang tertawa, kadang menyimpan kesepian paling dalam.
Shintya termangu, melamun sepanjang perjalanan pulang ke Surabaya. Adhit entah mengoceh apa, Shintya memakai headset, mendengarkan lagu dari ponsel yang Adhit berikan untuknya. Pikirannya melayang kemana-mana, membayangkan rutinitas kehidupan Adhit.. Kapan dia mencari hiburan? Sehari-hari demikian sibuk, kata teman-temannya, baru setelah menikah saja Adhit jadi ada waktu berkumpul dengan teman-temannya seperti hari ini. Shintya baru tersentak dari lamunan saat Adhit menarik headsetnya.
“Makanya dari tadi aku nggak ditanggapi,” omelnya.
“Emang kamu ngomong apa?”
“Males.”
“Ok,” balas Shitya cuek.