DI RUANGAN BERNUANSA PUTIH BERSIH, terlihat sangat kotor dengan bekas bungkus snack yang berserakan dan beberapa remah mengotori lantai. Kasur berantakan dengan selimut tak terlipat ditambah bantal tak tertata dan ada beberapa komik di atas kasur. Tiba-tiba suara pintu kamar berderit menandakan baru saja dibuka, tak lama seorang laki-laki berambut hitam pekat memasuki kamar sambil mengobrol lewat ponsel genggam.
Dia adalah Chandra Kusuma yang kini berdecak melihat keadaan kamar adiknya.
“Seno, kau itu sudah di angkatan terakhir, diusiamu yang harusnya sudah kuliah! Membersihkan kamar sendiri saja kau tidak bisa!” ujar Chandra sambil fokus berkonsentrasi pada satu komik yang tergeletak di atas kasur.
Di waktu yang sama namun berbeda tempat, seorang laki-laki dengan pakaian seragam sekolah tengah berjalan di bahu jalan, memegang ponsel yang ia tempelkan di telinga.
“Ehhh, Bang Chandra, ayolah… kau dapat membersihkan kamarku tanpa membuatmu lelah. Jadi tolonglah, kali ini saja!” balas Seno terdengar merayu.
“Baiklah akan aku bersihkan karena aku adalah kakak terbaik. Tapi kau jangan berpikir untuk membolos, ini sekolah terakhir yang menerimamu di pertengahan semester.” ujar Chandra diselingi senyuman kebanggaannya karena berhasil memindahkan komik ke rak buku tanpa menyentuhnya.
Langkah kaki Seno tiba-tiba terhenti, ia melihat seorang murid wanita yang tengah didorong untuk masuk ke gedung bekas oleh tiga murid pria yang memakai seragam sama dengannya. Baru saja Seno mencondongkan pundaknya, seruan dari ponsel yang tertempel di telinganya terdengar.
“Ingat jangan terlibat masalah yang membuatmu dikeluarkan dari sekolah, jadi lanjutkan langkahmu dan jangan menoleh ke belakang!” Tegas Chandra, menatap tajam bantal yang saling tumpuk seolah ia mampu melihat apa yang baru dilihat oleh adiknya.
Tak kunjung ada jawaban dari lawan bicaranya ia berteriak kesal. “Seno! Seno! Kau mendengarku!” kali ini Chandra mampu membuat bantal melayang dan terjatuh tepat di dekat sandaran ranjang.
Mendengarnya Seno sedikit menggerutu, ia pun menuruti perkataan sang kakak dengan berat hati. Namun baru satu langkah langsung berbalik arah, “Bang sepertinya kau sudah kehilangan rasa kemanusiaan, dan jangan menggunakan kekuatanmu padaku. Aku tidak suka ketika kau melihat ke dalam pikiranku, itu melanggar privasi!”
Dahi Chandra berkerut mendengar suara di seberang telepon, “Apa maksudmu, siapa juga yang bisa melihat ke dalam pikiranmu! Kemampuanku itu hanya bisa menggerakan benda dengan konsentrasi pikiran, kau lupa ya!?” ia berdesis sebelum melanjutkan ucapannya, “Telekinesis, itu nama kemampuanku!” penjelasan Chandra lebih terdengar sindiran, dan itu berhasil membuat Seno kikuk menyadari kesalahannya.
“Aaaaakh~!”
Suara teriakan dari gedung jelas terdengar oleh Seno. Ia pun sontak menghentikan langkahnya, sembari menoleh pada sumber suara. Dengan pandangan mata tak terlepas dari gedung kosong di seberangnya, Seno berbicara dengan nada terburu,
“Bang Chandra kau dengar, ini tidak benar! Seharusnya kita menolongnya, aku janji kali ini tidak akan dikeluarkan dari sekolah. Jadi, maafkan aku.” sambungan telepon terputus, dengan cepat Seno berlari menuju gedung.