WINDY ... IS CALLING

Herman Trisuhandi
Chapter #1

TIM

DUA jam bukanlah waktu yang singkat untuk menunggu orang ketiduran. Pasti ada yang keliru, pikir Nancy gusar. Tidak cukup sekali gadis bertungkai kaki jenjang itu menelepon, hingga gemas dan mengumpat-umpat. Tetapi, diangkat cuma untuk sekadar memberi tahu ia masih hidup pun tidak. Seolah-olah sikap pedulinya hanya dianggap main-main.

Kelewatan! Ia memaki dalam hati sebelum kemudian berlari keluar dari kamar. Menyambar jaket pada gantungan dan gegas menuruni anak tangga. Dua anak tangga sekaligus dalam satu kali lompatan.

Hap! Kedua kakinya mendarat persis di bawah anak tangga yang pertama. Hampir saja ia jatuh tersungkur. Ujung tumitnya menenggor dinding anak tangga. Tapi cepat ia menyeimbangkan diri. Sehingga kecelakaan kecil itu dapat dengan mudah ia atasi.

Buru-buru Nancy meraih sepatu pada rak yang diletakkan di dekat situ. Memakainya dengan gerakan supercepat yang ia bisa.

“Buru-buru amat. Mau ke mana?” tanya ibu yang tengah menyiapkan makan malam. “Nggak bantuin ibu?” sambung perempuan bersahaja itu tanpa menunggu balasan anak gadisnya yang tampak megap-megap.

“Maaf, Bu. Nancy bantuinnya lain kali ya. Putra sama Mayang udah nungguin soalnya.” Nancy bohong. Karena itu ia tidak memandang wajah ibunya. Takut ketahuan.

“Tapi sebentar lagi ayahmu pulang. Ibu musti bilang apa kalau ditanya kamu ke mana?” Ibu pura-pura merajuk.

“Ngerjain tugas.” Jawab Nancy cepat.

Ibu menautkan alis. Merasa ada yang tidak beres. “Bukannya tadi kamu baru pulang jam empat, ya?” 

Pertanyaan ibu penuh selidik. Nancy menarik napas dan mengembuskannya pelan-pelan. Sambil pandangannya terus mematri sepatu, ia menjawab, “Yang tadi rapat OSIS, Bu. Pembinanya minta kita bikin draft buat MOS nanti.”

Nancy tidak bohong. Ia adalah anggota OSIS. Di mana selama dua tahun belakangan ia telah dipaksa ikhlas merelakan sebagian waktu luangnya pada jam istirahat maupun sepulang sekolah sekadar membahas nama-nama calon petugas upacara pada hari Senin, atau semacamnya.

 Hari ini, Pak Ridwan, sang Pembina OSIS memaksa seluruh anggotanya berkumpul di aula setelah empat hari lalu rapat selalu dibatalkan. Alasannya ada saja. Hari pertama diinstruksi, Putra si Ketua OSIS malah keseleo pas main basket. Besoknya Gina. Gadis yang menjabat Sekretaris itu absen tidak masuk sekolah tanpa keterangan yang jelas. Kabar-kabarnya, ia ikut orang tuanya ke bandara menjemput kawan karib sang papa yang datang dari luar negeri. Masih kabarnya lagi, Gina dipaksa ikut pergi lantaran kawan karib papanya juga mengajak anak laki-laki yang seumuran dengannya buat dijodohin.

Nancy sendiri, karena keburu malas teman-temannya pada “cabut” duluan jadi kebawa-bawa. Ia pura-pura ditelepon ibu harus segera pulang begitu jam sekolah selesai.

“Kenapa nggak sekalian nugas sih tadi. Kan jadinya enggak bolak-balik begini?” Ibu menutup makanan dengan tudung saji sembari pandangannya terus mengawasi Nancy.

Nancy terpaksa mengangkat wajah. Ditatapnya ibu dengan pandangan jengah.

Tepat sebelum itu, ia telah selesai mengikat tali sepatu. Lalu, dengan cepat ia bangkit dan bergerak mendekati ibu.

“Lupa,” Nancy menjawab sekenanya sembari menarik tangan ibu dan ditempelkan pada dahi.

Ibu membuang napas. Tapi tak urung ia berusaha membujuk. “Ya sudah. Tapi perginya nanti saja sekalian habis magrib. Bisa dong?”

“Putra sama Mayang sudah nungguin, Bu.”

Ibu hampir kehabisan akal. Tapi tidak lantas menyerah begitu saja. Wanita yang masih terlihat segar di awal usia lima puluhan itu bergerak cepat mengikuti putri bungsunya berjalan ke depan.

“Kamu nanti naik ojol kan, ya. Pasti abang-abang ojolnya masih pada salat jam segini.” Ibu kembali menemukan cara membujuk persis ketika Nancy tengah membuka pintu depan. Meskipun ibu sendiri sudah tahu cara apa pun tetap tidak akan berhasil mencegahnya pergi.

“Bu ... Nancy cuma bikin tugas kelompok aja. Enggak lama. Sebelum jam delapan juga pasti sudah selesai, kok.” Sahut Nancy sembari duduk di kursi di teras. 

Inilah yang membuat ibu senantiasa luluh. Bukan karena ibu lebih gampang mengalah. Meskipun Nancy bukan anak paling penurut, tapi yang paling penting, Nancy jarang membikin kecewa orang tua. Anak itu selalu berusaha menepati janji dan enggan membuat kompromi dengan itu. Tidak jarang, ialah yang menjadi percontohan-kebaikan bagi kedua kakaknya yang masing-masing tinggal di luar kota. Yakni Edward, si sulung yang membuka usaha kecil-kecilan di Kota Bandung. Serta Netta si tengah yang berada di Kota Malang, Jawa Timur.

Ibu lalu ikut duduk di kursi sebelah Nancy. Menemaninya yang mulai sibuk lagi dengan handphone

Nancy memesan ojol. Sekaligus kembali merepetisi satu pesan yang sama seperti satu jam lalu kepada beberapa temannya sekaligus.

Berbeda dari sebelumnya, kali ini ia memaksa. Mau tak mau semua teman-temannya harus datang ke rumah Mayang. Pilihan jatuh di ke rumah Mayang sebab lokasinya berada pada titik jangkau paling relatif.

Bukan tanpa alasan Nancy menekan teman-temannya. Dua jam lalu, mereka semua sengaja meninggalkan Windy yang tertidur saat rapat OSIS. Seandainya Windy masih bisa dihubungi, Nancy tidak akan sepanik itu. Ditambah, Jefri yang dititipi pesan untuk membangunkannya malah kelupaan katanya. Ketika dihubungi, Jefri yang saat dititipi pesan tengah bermain basket mengaku langsung pulang begitu selesai. Sehingga ia lupa dengan titipan pesannya.

Juwita dan Lily, dua kakak beradik saudara Windy mendatangi rumahnya sekitar sejam yang lalu. Menurut mereka Windy belum pulang. Dihubungi lewat ponsel juga tak ada balasan. Mereka sudah mendatangi sekolah. Tapi alpa. Dari Tukang Kebun dan Satpam, yang pulang terakhir adalah segambreng anak Teater yang baru selesai latihan.

Nancy menggigit bibir kuat-kuat hingga asin darah memenuhi kerongkongannya. Persis seperti itu, Windy juga tidak merespon teleponnya sama sekali. Berkali-kali. Berulang-ulang ia menghubungi tetap nihil.

Lihat selengkapnya