WINDY ... IS CALLING

Herman Trisuhandi
Chapter #2

BENTURAN

SEPEDA motor Putra membelah jalan menuju daerah perumahan tak jauh dari SMA Kolese Gonzaga, tempat mereka selama dua tahun sudah menimba ilmu. Seperti sebelumnya, Nancy juga meminta Putra untuk pelan-pelan. Ia masih berharap dapat menangkap sosok Windy di antara ramai jalan dan trotoar yang dipadati warung tenda serta kaki lima.

“Eh, sori,” tahu-tahu Putra menoleh sebentar. Ia berkata dengan sedikit mengencangkan suara demi mengalahkan suara-suara di sekitar plus angin yang menderu. “Ini bener kan, ya, rumah Mas Apip nggak jauh dari sekolahan?”

“Emangnya lo nggak tahu?” Nancy membalas enggan. Berupaya menjaga jarak aman.

“Tahu ... tapi cuma denger-denger saja sedikit dari anak-anak. Bukan dari Mas Apipnya langsung.” Terang Putra.

Cepat Nancy menyalakan ponselnya lagi. Ia mengetik pesan pada salah satu temannya yang lain. Menanyakan rumah orang yang tengah mereka tuju.

Balasan itu tak menunggu lama. Nancy membacanya cepat. Lalu segera diberi tahukannya pada Putra. 

“Di situ ntar belok kiri,” Nancy menunjuk sebuah mulut gang tak jauh dari bangunan sekolah SMA Kolese Gonzaga yang telah terlihat.

Putra mengangguk. Di mulut gang, ia lalu berbelok.

Belum sempat Nancy berkata, memberi tahunya lagi nomor berapa rumah Mas Apip, Putra melihat sosok itu tengah berjalan di depan pagar rumah sederhana yang nampaknya merupakan bangunan lama. 

“Mas Apip!” panggil Putra sembari menghentikan sepeda motornya. Laki-laki kurus kecil itu lantas berhenti. Memandang dua sosok remaja yang dipikirnya tak ada angin tak ada hujan tahu-tahu muncul di depannya.

“Mas Putra?” sahutnya dengan suara medok.

Apip adalah laki-laki asal Blora, Jawa Tengah yang mengadu nasib ke Kota Jakarta. Pada mulanya ia kerja serabutan sebelum kemudian diajak oleh Kepala Sekolah SMA Gonzaga menjadi tukang kebun yang terkesan-kesan dengan kinerjanya. Apip lalu menikah dengan gadis pemilik kios kue dan masih ikut tinggal di rumah orang tua sang istri.

Putra dan Nancy turun dari sepeda motor dan kemudian mendekat. Tanpa basa-basi, Putra langsung ngomong ke tujuan.

“Gini Mas Apip, temen kita Windy, tadi ketiduran di aula. Kita lupa enggak bangunin dia, Mas,” Putra sedikit melirik Nancy yang tampak tak setuju dengan kebohongannya. “Mas Apip tadi ngecek ke aula juga kan pas beres-beres?”

Apip tampak mengingat-ingat. “Semua saya cek, Mas.”

“Yakin semua?”

“Ya saya ndhak cek ke seluruh ruangan sih, Mas. Saya cuma melongok saja dari pintu. Sudah ndhak ada orang ya sudah saya kunci dari luar.”

Putra dan Nancy saling berpandangan. Hawa dingin mulai merayapi dinding perasaan masing-masing.

“Tadi keluarganya Mbak Windy juga sudah nyari.” Apip melanjutkan. Kejujuran dalam suaranya terasa mengerikan.

“Pas mereka datang, Mas Apip ngecek lagi ke dalam?” Nancy mendesak.

“Ya ndhak sih, Mbak. Kan saya tahunya cuma anak-anak ekskul saja yang lagi latihan sampai sore.”

“Gini deh, Mas.” Putra mengeluarkan ponsel dari sakunya. Membuka galeri dan memperlihatkan wajah Windy. “Ini Windy. Temen kita.”

Apip mengeluarkan decak gemas dari mulutnya. 

“Ck! Mbak Windy ini ya saya kenal dong, Mas. Saya ini loh hampir kenal semua anak Gonzaga. Beberapa alumni juga. Wong saya sudah kerja di sana sudah mau enam tahun, Mas.”

Keterangan dari Apip kian terasa mengusik. Namun, bukan hanya itu saja dirasakan Nancy. Ada sesuatu yang lebih mengganjal. Ganjil. Tapi Nancy dengan segenap perasaannya paling logis mengelak. Nggak! Bukan itu! Tepisnya mengingat wajah Windy terpampang penuh pada layar ponsel Putra.

“Ya deh saya percaya,” Putra mengantongi ponselnya lagi. “Tapi Mas Apip nggak keberatan kan kalau kita mintain tolong buat cek ke sekolah sekarang? Bukan apa-apa, Mas. Kita takutnya terjadi yang nggak-nggak. Kita sih tetep mikir positif. Tapi kita juga mana tahu bisa terjadi kejadian paling enggak masuk akal pun.”

Apip menimbang-nimbang sebentar. 

“Saya sih mau-mau saja, Mas. Tapi apa ya kita dibolehin masuk jam segini?” jawab Apip lugu.

“Mas Apip, ini bukan soal boleh enggak bolehnya, Mas. Tapi kondisinya udah kayak gini. Kalau beneran terjadi apa-apa siapa juga yang mau disalahin, Mas?”

Apip menatap Nancy. Ia memahami wajah kalut itu. Laki-laki itu kemudian menarik napas panjang.

“Gini saja,” tukasnya, “Mas Putra sama Mbak Nancy sudah cek lagi ke temen-temen yang lain belum? Atau sama keluarganya. Bisa saja kan sekarang Mbak Windy malah lagi makan sambil nonton tivi di rumah?”

Nancy dan Putra kembali bertukar pandang. Terjadi kesepakatan yang sepemikiran dengan Apip.

“Kalau hasilnya masih nihil. Sok mari kita sama-sama ke sekolahan. Tapi dengan catatan harus dengan izin dari pihak sekolahan.” Apip menekankan.

“Kita sama temen-temen yang lain sudah nyebar, Mas. Jadi jangan khawatir. Kita semua lagi pada ngecek sekaligus nyari-nyari informasi. Bagian kita datang ke Mas Apip.” Terang Putra dengan nada seolah-olah telah habis kesabaran.

“Lagian, Mas. Kan ada satpam. Pasti soal urusan izin, satpam yang bertanggung jawab.”

“Ya jangan menyepelekan gitu, Mas.”

“Saya nggak nyepelein, Mas. Cuma realistis saja. Memangnya kita perlu izin dari mana malam-malam begini. Lagi pula, bukannya itu memang sudah tanggung jawab satpam mau kasih izin apa tidak?”

Apip manggut-manggut.

“Tapi, Mas. Ini beneran? Mbak Windy ngilang begitu?”

“Kita nggak akan mau direpoti kalau ini bohongan, Mas.”

Apip terkesiap. Ditatapnya satu per satu antara Putra dan Nancy. Embus angin malam menerpa wajahnya. Dingin.

***

SEBUAH Corolla Altis warna merah yang masih mentereng menepi di pinggiran warung tenda ayam goreng di salah satu sudut Jalan Pejaten Barat. Erik memarkirnya dengan hati-hati. Diam-diam dipungutnya kunci mobil dari atas meja kamar ketika abangnya tengah mandi. Baru setelah ia tiba di rumah Gina untuk menjemput gadis tersebut, ia mengirim pesan. Galang, abangnya membalas singkat: jangan sampai lecet!

“Jadi, yang mana rumah Dewi?” tanyanya pada Gina. 

“Masuk gang, sih. Katanya nomor 78. Tapi ntar Dewi bakalan nunggu depan rumah,” terang Gina.

Tanpa banyak kata, Erik meluncur memasuki gang suram yang diapit pagar-pagar rumah setinggi pinggang orang dewasa. Matanya awas meneliti satu per satu teras rumah yang ia lewati. Hal itu memaksanya bersikap sopan pada siapa pun lantaran ogah dicap orang beringasan yang masuk kawasan orang sembarangan.

Selang beberapa puluh meter. Dari rumah lantai dua yang tidak memiliki halaman cukup luas selain teras yang mepet dengan pagar teralis, seorang gadis jangkung mengenakan kombinasi pakaian sederhana memanggil-manggil Gina. Kausnya kedombrongan. Membuat celana pendeknya nyaris tidak kelihatan. Sambil berjinjit-jinjit, gadis tersebut melambaikan tangan.

Dia adalah Dewi. 

Serempak ketiganya mendekat. Dewi segera membuka pintu pagar.

“Masuk,” ajaknya ramah. Tetapi Erik menggeleng.

“Sori Dew. Bukannya enggak sopan. Tapi di sini saja. Kita enggak punya banyak waktu,” jawab Erik kalem.

Dewi mengangguk. Walaupun sebetulnya tidak cukup tahu apa alasan Erik menolak masuk. Pun ia sama sekali tak mempersoalkannya. “It’s okay,” jawab Dewi ringkas.

Di sisi lain, Gina tampak tak enak hati. Tetapi ia tidak bisa menyalahkan Erik juga. Kondisinya memang bukan untuk haha-hihi. Kecuali Bagus yang tampak nelangsa. Tenggorokannya kering semenjak di rumah Mayang. Sepanjang perjalanan tadi ia membayangkan suguhan minuman. Paling tidak teh hangat. Atau sekadar air bening pun tak masalah.

Namun, kata-kata Erik dengan mudah melenyapkan harapannya. Yang lebih bikin sesak, ia merasa ditekan hanya untuk patuh.

“So?” Dewi menggantung kata-katanya. Memandangi ketiga tamunya secara bergantian.

Gina menarik napas. Mengatur kalimatnya supaya pas.

“Windy belum pulang, Dew. Orang tuanya sekarang lagi nyariin. Mereka minta tolong kita. Kira-kira lo tahu nggak di mana dia sekarang?”

Lihat selengkapnya