WINDY ... IS CALLING

Herman Trisuhandi
Chapter #3

KERJA SAMA

PUTRA mengenali dengan betul sepeda motor yang diparkir di pinggir trotoar di depan gedung sekolahannya. Itu motor Zaki.

Berbarengan ketiganya tiba di situ, dua sosok remaja dengan tinggi yang menjomplang jauh—yang cowok hampir setinggi pintu gerbang sekolah, sementara yang cewek jauh lebih pendek sehingga siluet yang tertangkap seolah-olah si cowok berjalan bersama anak kecil—berjalan beriringan keluar dari pintu gerbang yang hanya dibuka selebar badan mereka saja.

Wajah keduanya kusut dengan bahu melorot. Pemandangan itu, sontak membikin jantung baik Putra maupun Nancy mencelus.

Mayang menggelengkan kepalanya pelan. Seolah-olah dari wajah Nancy terpeta jelas pertanyaan yang dapat dibacanya dengan sempurna.

Nancy menelan ludah. Matanya kembali terasa panas. Please no! Rintihnya dalam hati. Perih.

“Gimana?” tanya Putra.

Zaki menoleh Mayang. Memberinya ruang barangkali ia yang mau menjawab. Tapi agaknya Mayang tak kuasa. Gadis itu tampak menyusut dalam bekapan jaket jins yang tidak sesuai ukuran tubuhnya.

“Nggak ada,” jawab Zaki pendek.

“Serius? Satpam bilang apa saja memangnya?” Putra mendesak.

Sebelum menjawab, Apip permisi dulu meminta diri untuk menemui satpam. Ia merasa mungkin dapat melakukan sesuatu yang tidak bisa dilakukan anak-anak. 

Nancy akui, ada secercah harapan yang kembali menggeliat manakala menatapi punggung Apip melangkah melintasi pintu gerbang. Lalu siluetnya yang kecil, di bawah siraman cahaya lampu, gegas menuju pos satpam di sisi kanan pintu gerbang persis.

“Nggak ada satu anak pun keluar sebelum atau sesudah gerombolan anak Teater keluar.” Terang Zaki.

“Beneran satpamnya yakin? Memangnya dia kenal sama Windy?”

“Satpam memang nggak kenal pasti sama Windy. Lagian Mayang juga kasih lihat foto Windy dari hapenya.” Di sisi Zaki, Mayang mengangguk meyakinkan.

Putra menarik napas panjang. Ia membungkuk. Kedua tangannya bertumpu pada lutut. Perutnya melilit. Ia merasa seperti ada tangan raksasa membetotnya.

“Tadi satpam sempet ngecek ke dalam. Katanya nggak ada juga.” Imbuh Zaki.

“Lo ikut masuk ke dalam?” suara Nancy bergetar. 

Berbarengan, Zaki dan Mayang menggeleng.

“Gimana kalau satpam nggak bener-bener ngecek?”

Sebelum baik Zaki maupun Mayang menjawab, Apip keluar tergesa. Wajahnya sedikit cerah.

“Mas ... tadi sih satpamnya bilang sudah ngecek ke dalam. Tetapi karena aulanya juga dikunci jadi dia enggak bisa masuk. Dia juga sempet nyorotin ke dalam ruangan pakai senter dari jendela. Katanya kosong. Cuma kalau Mas Putra sama Mas Zaki mau ngecek lagi, ayo saya temenin. Ini saya bawa kuncinya.”

Keduanya langsung setuju. Mereka gegas masuk ke dalam berikut Nancy dan juga Mayang.

Entah memang begitu, atau hanya perasaan mereka saja diliputi rasa ngeri yang tahu-tahu menyergap. Hawa dingin yang asing seolah-olah menolak kehadiran mereka di situ. Nuansa gelapnya terasa mengintimidasi. Seakan-akan mereka baru saja menapaki dunia yang menolak diakrabi. Ganjil.

Setiap bunyi langkah kaki terdengar lebih nyaring dari biasanya. Tiap ketukannya menggaung dalam kesunyian yang mencekam. Tak ada lagi aroma familiar yang akrab mereka baui setiap hari. Segalanya, tampak seperti tengah menunjukkan rupa asli yang sebetulnya tak pernah atau malah tak mau dikenali.

Gedung aula tinggal beberapa langkah lagi. Sepasang pintu dorongnya yang dicat warna cokelat muda, terlihat seperti warna merah yang menyala di bawah sorot lampu neon tepat di atasnya.

Nancy menghela napas. Diraihnya tangan Mayang dan kemudian keduanya saling menggenggam menguatkan. 

Tiba di depan pintu, Apip merogoh saku jaketnya mengambil serenceng kunci yang tipikal. Terlebih dahulu ia memeriksa satu per satu. Menyodorkannya ke arah lampu neon. Barangkali memang pandangannya yang kurang awas.

Tidak menunggu lama. Bunyi cekrek yang ditunggu-tunggu menyentak ketidak sabaran yang semenjak tadi dipaksa redam. Putra dan Zaki berbarengan menarik selot pintu membukanya lebar-lebar. Cahaya lampu menyeruak masuk. Menerabas gelap samar yang memenuhi keseluruhan ruang. 

Tanpa dikomando, semua-muanya masuk. Memburu deretan kursi di mana Windy sore tadi dibiarkan lelap sendirian. Nancy setengah berlari melaju paling cepat di depan. Disusul suaranya memanggil-manggil Windy.

Dengan penerangan dari ponsel masing-masing, semua menyoroti tempat yang sama. Beralih ke segala sudut mencari-cari. Nihil. Windy tak ada di sana. Tak ada jejak apa-apa. 

Nancy agak meninggikan suaranya memanggil-manggil. Bergerak ke sana ke mari bersamaan dengan rasa cemas yang mengaduk-aduk isi perut.

“Windy. Win ...!”

Teriakan itu saling bersahutan. Berulang-ulang. Memanggil-manggil satu nama yang sama. Tetapi tetap nihil. Ruangan itu hanya diisi sepi. Baik sebelum maupun setibanya mereka di sana.

“Windy!” suara Nancy bergetar di udara.

Lindap. Sepi. Tak ada suara menyahut.

“Mas ... barangkali mau ngecek tempat yang lain?” Apip memberikan usul.

Sepintas, saran itu terkesan mengada-ada. Hanya saja, dorongan suasana membuat siapa pun tak dapat memilah mana yang konyol, mana yang dapat diterima akal. Semuanya setuju. Tak terkecuali Nancy.

“Kita ke mana ini?” tukas Zaki.

“Ruang OSIS!” jawab Putra cepat. 

Putra tidak asal menjawab, Ruang OSIS adalah satu-satunya ruangan yang berpintu koboi di sekolahan tersebut. Setidaknya, gambaran itu sedikit masuk di akal jika kemudian Windy pergi ke situ. Walaupun tetap memberikan kesan janggal yang mengerikan.

“Mas, saya ke toilet, ya. Sekalian ngecek di sana.” Apip kembali bersuara. Tak seorang pun menjawab kecuali memandanginya dengan kesan aneh. Lebih dari itu, sebelum siapa pun dari keempat-empatnya menjawab, Apip keburu ngacir duluan.

Mengandalkan penerangan dari senter ponsel, mereka melangkah cepat menuju Ruang OSIS. Tempatnya tidak jauh. Hanya perlu melintasi sebuah gedung Laboratoriun Bahasa. Lantas mengikuti jalan sepanjang koridor hingga ujung. Di situlah, di dekat tangga menuju ruangan lantai atas Ruangan OSIS itu berada.

Mereka hampir tiba di sana ketika sebuah pesan masuk ke ponsel Nancy. Hati-hati, sambil terus berjalan Nancy membukanya. Membacanya dengan seksama.

Juwita: belum ketemu.

Lutut Nancy lemas seketika. Sontak ia berhenti. Pandangannya memancang pada layar ponsel yang memendar-mendar.

Ia belum pernah merasakan hal seperti itu. Perasaan campur-campur di tengah kondisi semrawut akibat kecerobohan yang dilakukannya. Ia bukan berarti belum pernah merasakan digempur rasa waswas yang tak sudah-sudah. Hanya saja, jika kejadian ini merupakan simulasi bertahan menghadapi situasi. Rasanya tidak akan selucu ini. Sumpah!

Lihat selengkapnya