Aku memang belum menemukan apa makna di balik tradisi memberikan hadiah ulang tahun. Yang kutau, tujuannya hanya ingin membuat orang yang berulang tahun itu senang. Makanya saat ingin memberikan sebuah hadiah, seringkali kita tak ingin salah. Kalau memang tujuannya mau bikin senang, pasti kita cari tau benda favoritnya, sesuatu yang dia suka, hal yang dia inginkan atau barang-barang yang sedang dia butuhkan. Tapi banyak orang yang bilang, apapun benda yang kamu terima sebagai hadiah, kamu suka atau enggak, maknanya nggak penting lagi kalau benda itu pemberian dari orang yang benar-benar kamu cinta. Kamu tak lagi melihat “apa” yang diberi tapi fokus dengan “siapa” yang memberi, daun kering juga bisa jadi lebih berharga kalau kamu terima dari orang yang kamu anggap istimewa.
Tapi kok kayaknya, hal-hal semacam itu nggak berlaku denganku ya?
Aku yang buru-buru meninggalkan Pasola Restaurant demi menemui Firga yang katanya mau dinner bersamaku, harus menghadapi second shock therapy saat aku tiba di Hause Rooftop malam itu. Firga tidak sendirian dan tidak merencanakan candle light dinner untuk berdua. Tim kreatif program tvnya Firga ada juga di sana.
“Selamat Ulang Tahun Mbak Miyana!”
Ekspresi wajahku pasti terlihat kaget dan tidak puas saat itu, but then again, acting pura-pura bahagia chapter dua harus kulanjutkan.
“Selamat Ulang Tahun ya Mi” Firga berjalan mendekatiku.
Aku memajang senyum perempuan yang sedang bahagia karena diberikan surprise party dari kekasihnya, dan juga para teman-teman kerja kekasihnya itu.
Teman-teman Firga mulai bernyanyi selamat ulang tahun untukku, satu persatu memberikan selamat, beberapa merekam moment ini dengan ponsel mereka. Salah satu staf talent-nya Firga, Rizka, memegang kue ulang tahun dengan lilin-lilin kecil di atasnya.
Setelah aku meniup padam lilin-lilin itu, mereka memotongkan kuenya untukku.
“Tenang aja Mi, ini Low Fat Cake kok.” Ucap Firga.
“Gimana tadi dinnernya? Seru?” Firga memulai percakapan saat kami duduk berdua, terpisah beberapa langkah dari meja teman-temannya berkumpul.
Aku masih memandangi sekitar. Balon-balon yang menghiasi sudut Hause Rooftop ini, lalu malam yang tenang dengan bintang-bintang. It’s perfect night for a date, isn’t it?
“Ya gitulah, pretty surprising” jawabku.
Seorang pramusaji mendekat ke meja kami, “ohh iya, kamu mau makan apa?” tanya Firga.
“Aku tadi udah makan sih, kalo kamu mau pesan apa?”
“aku sama anak-anak juga udah makan Mi, laper banget tadi pas nunggu kamu.”
“Ohh,” responku datar.
“yaudah, kamu mau wine?” tawarnya.
“boleh deh” jawabku sambil mengangguk.
“oke mas, a bottle of white wine ya.” Pinta Firga ke mas-mas Pramusaji.
“Papa kamu juga datang ya dari Jogja?”
“Yeah, everyone’s there but you.” Ucapku.