Setiap jatuh cinta itu, rasanya sama kan? Atau tergantung objeknya? tergantung kepada siapa kita jatuh cinta? Aku tidak pernah benar-benar sadar kapan pertama kali aku jatuh cinta sama Firga, bodohnya baru sekarang ini aku menuntut jawaban, menanti penjelasan dan mencari-cari bukti pembenaran dari tiap-tiap hal yang aku rasakan.
Orang dewasa tentunya akan memaknai cinta dengan cara yang berbeda bukan? Mereka juga tidak akan menikmati cinta itu dengan cara yang sama saat mereka masih SMA. Orang dewasa lebih butuh kata kerja yang menjelaskan cinta itu, daripada sekedar kata-kata cinta itu sendiri. Toh, sekarang ini sangat sangat mudah sekali untuk bilang “I love you”
Firga tidak pernah mengungkapkan perasaannya padaku. Aku pun begitu. Namun, sudah bertahun-tahun saling mengenal, saling menjaga, saling peduli, saling memahami, saling mengusahakan hal-hal baik untuk satu sama lain, tidakkah itu cukup untuk mewakili dan menggenapi pernyataan “saling cinta”?
Aku lelah menerka-nerka, seperti 3 karakter wanita dalam film He's Just Not That into You. Jennifer Connely yang ingin menjaga kata “cinta” itu tetap utuh dengan memaafkan Bradley Cooper yang sudah mengaku selingkuh. Atau Jennifer Aniston yang telah 7 tahun hidup bersama dengan Ben Affleck, saling mencintai namun akhirnya menuntut untuk dinikahi sebagai pembuktian dari kata “cinta” itu sendiri. Dan Gigy yang salah sangka terhadap Alex, yang sangat percaya diri kalau Alex jatuh hati padanya.
Tapi kemudian mereka semua sadar, bahwa mereka tidak hanya membutuhkan “cinta” untuk bisa bersama dan tidak perlu fokus terhadap definisi “cinta” yang selama ini mereka percaya. Jennifer Connely dan Bradley Cooper akhirnya berpisah juga setelah sama-sama mencoba untuk bersama. Ben Affleck akhirnya menikahi Aniston untuk membuktikan “cinta” itu, meski akhirnya mereka berdua sama-sama sadar, selama ini mereka sudah memiliki komitmen untuk terus bersama, yang mungkin maknanya sudah lebih dari kata cinta. Lalu Gigy yang bisa bahagia bersama dengan Alex, bukan karena dia memaksa Alex untuk bersama, namun Alexlah yang akhirnya sadar bahwa sudah ada rasa yang tumbuh di antara mereka.
Pada akhirnya kamu tidak akan pernah merasa cukup dengan kata “cinta”, kamu membutuhkan yang lebih dari itu. Kamu membutuhkan rasa yang bahkan kamu sendiri kadang tidak sadar kamu memilikinya. Bukankah cinta juga bersifat alamiah seperti itu? Bukan settingan, bukan suatu hal yang dibuat-buat. Sejalan dengan itu, kamu butuh satu hal lagi yang mampu melengkapi; komitmen, rasa yang mengikat.
Pikiran-pikiran liar itu muncul saat aku duduk dan termenung dalam pesawat saat sedang di perjalanan menuju Bali. Aku menemukan novel klasik karya D.H Lawrence, saat aku mencari power bank dalam Hand Bagku. Novel itu adalah kado ulang tahun dari Ayahku yang sejak ia berikan saat Dinner di Pasola waktu itu, masih tersimpan di tas ajaibku ini.
“Nih, akhirnya Ayah dapatkan novel aslinya buat kamu setelah sekian lama ya” ujarnya sambil tertawa saat memberinya padaku.
Aku hampir terharu, bahagia. Karena kalau diingat-dingat, itu sudah lama sekali. Aku masih SMP waktu itu, aku melihat ayahku memeriksa berlembar-lembar paperwork para mahasiswanya. Ternyata itu adalah hasil analisis novel Women in Love-nya D.H Lawrence. Aku tau ceritanya sekilas dari hasil membaca paperwork itu, namun saat kuminta cerita lengkap, ayahku belum bisa mencarikan novel aslinya, tidak mungkin dia membawa pulang dan memberikan novel milik universitas untukku. Jadi, saat itu untuk menghiburku, dia membawakanku novel klasik yang bisa dia dapatkan, seperti Pride and Prejudice, Little Woman, Sense and Sensibility dan novel lain yang mungkin lebih mudah dicari.
Saat kubaca novel Woman in Love itu dengan memilih halamannya secara random, I found a line that really makes me overthinking about my own love life. “I should feel the air move against me, and feel the things I touched, instead of having only to look at them. I’m sure life is all wrong because it has become much too visual – we can neither hear nor feel – nor understand, we can only see. I’m sure that is entirely wrong”.
Mungkin aku terlalu menghubung-hubungkan frasa yang kubaca itu, dengan apa yang memang sedang kurasakan. Aku tidak mengerti apa yang salah, aku tidak mendengar apa pun yang salah dari Firga ataupun menemukan kesalahan dari diriku sendiri, dari hubungan kami yang tidak bisa kudeskripsikan. Aku hanya melihat perubahan sikapnya yang perlahan memberi “jarak”. Aku yakin ada yang salah, yang tidak kuketahui dan yang belum terlihat.
Sesalah gerak tari yang kini kucoba, namun tetap saja masih belum terlihat sempurna. Padahal udah dua jam lebih belajar kilat mengenal dan memperagakan beberapa gerak tari untuk keperluan photoshoot project-nya Mas Aggie.
“Nggak Jetlag kan Mi?” Jovadi menghampiriku yang sedang meneguk air mineral di sudut ruangan saat sedang break.
“Ngeledek banget, haha. Mungkin sisa-sisa dugem tadi malem aja nih.” Candaku
Jovadi tertawa.
“Gue tuh emang dari dulu nggak bisa nari Jo, aneh nggak sih tadi gerakan Gue?”
“Kalo untuk nari beneran sih cukup aneh ya, hahaha, tapi pose-pose kamu, lumayan okelah”
“Hallah, abis ngeledekin nggak usah muji-muji gitu deh Jo”
“Eh, beneran. Kamu gak liat sih tadi di layar laptopnya mas Aggie.”
“Udah keburu malu gue Jo, niru gerakan mereka salah melulu dari tadi. Mereka kok bisa ya keren banget narinya?”
“Cause they’re dancers Mi, aneh deh Lo, kalo nggak keren, mereka nggak bakal jadi penari.”
“Jadi apa dong?”
“hmmm... jadi model kayak Lo. Haha”
“Sial, sarkas Lo, hahaha”
Setengah hari itu meski melelahkan, namun cukup menyenangkan. Jovadi yang berkali-kali mengaku tidak bakat menari pun berhasil menirukan gerakan tari lebih baik dibanding aku. Di beberapa adegan di mana kami harus berdekatan dan bersentuhan, dia akan selalu berkata “let me know if you’re not comfortable with my move”, dan mungkin ini penting karena ini adalah project pertama yang kami lakukan bersama.
“Jo?” Tanyaku saat melihatnya melintas melewati ruang tengah Guest House yang kami tempati bersama. “Mau ke mana?”
“Jalan-jalan.” Jawabnya.
Dan entah rasa bosan apa yang waktu itu menggangguku, sehingga aku meminta untuk ikut dengannya. Lagian Bali ini juga terlalu indah untuk dijadikan tempat overthinking-ku tentang sikap aneh Firga akhir-akhir ini.
“Ini beneran nggak papa nih, Lo naik motor bareng gue? motornya matic pula lagi.” Tanya Jo sebelum aku duduk di belakang kemudinya.
“Kenapa? Lo takut tiba-tiba gue peluk dari belakang? Terus masuk akun lambe ghibah di Instagram?” jawabku sambil langsung duduk di belakangnya.
“Hahaha, gue sih gapapa, sekalian panjat sosial siapa tau bisa nambah followers kan kalo dihubung-hubungkan sama Lo.”
“Boleh langsung tanya Iren aja deh rate gue berapa untuk hubungan settingan”
Dan si Jovadi ini malah melempar pertanyaan which is supposed to be a line, tapi karena kita baru kenal, aku bahkan nggak tau harus jawab apa saat dia bilang,
“Kalo misalnya pengen yang nggak settingan, gue punya peluang nggak?”
“It depends.”
Jovadi sedikit menoleh ke belakang, menunggu jawaban selanjutnya.