Wine & Water

Okia Prawasti
Chapter #6

Cerita Dari Miyana - Not Losing, Just Got Lost

Name some popular scenes of your favorite movies which left you feel blue. Well, di ingatanku, atau beberapa yang damagenya sangat membekas, there’s a scene from Call Me By Your Name. It’s actually in the ending, ketika Elio terduduk pasrah di dekat perapian rumahnya, lalu perlahan menangisi kenyataan bahwa Oliver akan segera menikah. It was a simply realistic act out, but Timothy Chalamet succeed to transfer the emotion what Elio feels, it’s desperately sad.

     Atau saat Jane Austen dan Tom Lefroy yang telah memutuskan untuk kawin lari agar bisa terus bersama, harus menerima kenyataan bahwa keadaan tak mendukung asmara mereka, all of their gesture expressed the sadness, apalagi saat Jane mengatakan “.... if our love destroy your family, it will destroy itself.” Aku nggak akan pernah lupa bagaimana bola mata biru McAvoy menatap kepergian Anne Hathaway masih dengan cinta yang dipaksa patah meski rasa cinta itu kian membuncah.

     Dan ada lagi sad ending dari La La Land movie yang berhasil bikin aku termehek-mehek, yaitu saat menyaksikan akhir kisah cinta Mia Dolan dan Sebastian Wilder yang tak berakhir bahagia berdua, serta harus merelakan segala rasa demi menggapai cita-cita.

     Tapi se-nyesek-nyeseknya ending dari cerita itu, aku mau bilang kalau yang aku rasakan saat ini bahkan jauh lebih parah. Yang nggak akan pernah aku terima adalah, setelah sekian lama, sejak aku mengenalnya hingga chapter demi chapter di kehidupan kami berganti namun kami tetap bersama, sejak aku menyusuri catwalk di fashion show pertamaku dan aku hanya ingin tersenyum pada lensa kamera Firga, dan sejak satu malam di bulan Oktober yang nggak akan pernah kulupa, Firga yang pasti sudah lelah dengan kerjaannya, masih sempat-sempatnya menjemputku di lokasi pemotretan, menunggu sampai kelar, lalu mengantarkanku pulang. Aku yang tertidur tak sadarkan diri selama perjalanan pulang, terbangun saat Firga menyetuh leherku untuk membenarkan posisi kepalaku. “Sorry Mi, tadinya aku nggak mau ngebangunin, pasti kamu capek banget, mau aku gendong aja ke dalem.” And just by that, I knew that I don’t wanna be with anyone else but him. And I just can’t believe, after all these years, no feelings involved?

     I think I’m done crying in my bath tub. Rasanya aku ingin pergi, entah ke mana lah, yang penting pergi sejenak, aku merasa muak tiap kali melihat barang-barang Firga yang tersebar di apartmentku, yang terbayang adalah senyuman Puteri saat merangkul tangan Firga ketika di bandara tadi. Melihat sikat giginya yang berdampingan dengan milikku, sisir imutnya yang juga tergeletak di meja riasku, kaos kucelnya yang sering digunakannya tidur tergantung di belakang pintu, beberapa bukunya yang bertumpuk di meja di samping kanan sisi tempat tidurku, sepatunya yang berada di rak yang sama dengan sepatuku, mesin kopinya, tumblernya yang sama dengan tumblerku, handuknya, tumpukan baju kotornya, toples-toples biji kopinya, aroma tubuhnya yang menempel di sofa atau di bantalnya di tempat tidurku, shit! I’ve been lived with those things for eight months, and suddenly everything’s seems meaningless? Dan aku harus kembali sekuat tenaga menahan air mataku untuk tak jatuh saat kudapati Firga memasuki ruang apartmentku sore itu.

     “Hey...” sapanya canggung saat melihatku keluar dari kamar.

      “Itu tadi oleh-oleh makanan dari Puteri.” Ucapnya pelan sambil menunjuk ke arah meja bar, di mana ia telah meletakkan sebuah bungkusan di sana.

     Kami masih berdiri dengan jarak kira-kira 3 meter, bertatapan, dan aku menunggu kata-kata darinya. Atau mungkin dia ingin bergerak untuk duduk di sofa dan mengajakku bicara. Tapi Firga hanya diam, tanpa kata, hanya menatapku dengan rasa bersalah yang tersirat.

     “So... you and her, since when?” Tanyaku akhirnya dengan mengumpulkan sisa-sisa kekuatan hatiku untuk terlihat tangguh.

     Firga tak langsung menjawab, ia sedikit menggeleng lalu berkata “I’m not sure, maybe... six months.

     Aku menarik napas perlahan, membuang pandanganku ke objek lain yang ada di depanku. Dan si bangsat Firga ini masih saja membisu. Bukankah harusnya dia memberikan penjelasan padaku?

     “Six months and you’re already sure to marry this girl?

     “Miyana, I wish I knew how to tell you this, aku...”

     “Nggak perlu,” aku mengisyaratkannya untuk tidak

mendekatiku, saat ia mulai melangkahkan kakinya. Firga kembali berdiri terdiam.

     “Apa pun yang pernah kita lakukan bersama, apa pun itu Ga, nggak akan pernah bisa menghalangi kamu untuk pergi kalau memang itu yang kamu ingini, tapi nggak gini caranya Ga..”

     Pertahananku runtuh, air mataku pun jatuh. Aku tertunduk sambil menghapus air mataku sendiri, lalu kembali menarik napas pelan. “Kalau memang bersamaku bukan yang kamu mau, harusnya kamu nggak boleh bikin aku berharap sejak dulu.”

     “Tapi aku sayang kamu, Miyana,”

     “ohh please, stop that bullshit! Just pack your stuff and leave, I don’t wanna see you when I’m back”

     Dan mana mungkin aku sanggup untuk melihat kamu lagi Ga, nggak mungkin bisa aku melihat kamu sebagai Firga yang aku tau, yang aku mau. Aku yang menghabiskan separuh hidupku denganmu, tapi malah perempuan itu yang mendapatkan seluruh sisa waktu untuk hidup sama kamu. Kamu anggap apa aku selama ini Ga? Just a girl you’re “craving” for? and Puteri is a girl you’re looking for? Fuck that! Dari sekian banyak sifat bastard laki-laki, aku pernah percaya kalau yang satu ini nggak akan pernah kamu miliki. Ohh, atau ternyata kamu memang sama aja dengan laki-laki lain yang ingin punya hubungan khusus, tanpa harus ada serius, dan kemudian berlindung di balik kata-kata “consent”. That consent is just for the sex Ga, not for the six years of my wasted life loving you and you didn’t have the same feeling as I do.

Lihat selengkapnya