Wine & Water

Okia Prawasti
Chapter #7

Ceritanya Firga - The One Who Loves From The Start

Apakah lo salah satu penggemar berat serial Friends seperti Miyana? Okay, gue bukan salah satunya juga, tapi Miyana satu-satunya cewek yang mungkin bisa bikin gue nurut untuk melakukan apapun yang dia mau. Gue nggak bisa nolak saat dia dengan wajah semangatnya menyambut gue pulang, lalu berkata,

     “Ga, temenin aku nonton Friends ya”

Atau “Ga, bikinin teh dong...”

     “Ga, tadi aku pesan makanan, terus dititipin di resepsionis, kamu yang turun ya buat ngambilnya”

     Jangankan ke lantai satu ya Mi, langsung beli ke tokonya pun kalo buat kamu, aku pasti mau.

     Anyway, gue lupa entah di season yang ke berapa dari serial Friends itu, ada satu episode di mana Ross Geller akan menikahi pacar Britishnya, Emily. Tapi di saat Ross hendak mengucap janji pernikahan, dia salah menyebutkan nama, dia malah mengucapkan nama “Rachel”. Kalian yang nonton juga pasti tau kalau Ross mencintai Emily. Memang sih, ia sempat punya kisah asmara bersama Rachel, namun di episode itu Ross terlihat sudah move on dan benar-benar ingin berkomitmen dengan wanita lain. Apakah dia masih mencintai Rachel? Mungkin. Apakah dia sayang Rachel? Yes he does, dia sangat menyayangi Rachel as his best friend. Yang mau gue sampaikan adalah, galaunya Ross saat itu, atau perasaaan yang mungkin bikin dia bingung, kurang lebih sama dengan apa yang gue rasakan sekarang. And since gue udah memilih Puteri, gue cuma bisa berharap gue nggak akan pernah salah dalam mengucapkan nama perempuan yang akan gue nikahi nanti.

     Lo udah tau sedikit tentang gue dari cerita Miyana, dan sekarang lo mau panggil gue bastard? Silakan. Tapi please, lo juga harus denger cerita gue. Gue ingin memulainya dengan sebuah pernyataan paling jujur kalau gue menyayangi Miyana sejak SMA, almost ten years ago, to be exact. Ingatan gue memang nggak bisa ditarik lebih jauh lagi dari 10 tahun yang lalu, tapi pertama kali gue liat Miyana, adalah ketika Ibu gue membawa gue ke rumah ayah Miyana yang nggak terlalu jauh dari rumah orang tua gue. Ayah sambung Miyana adalah seorang dosen yang dihormati di Yogya, ya yang gue inget orang-orang satu kecamatan tempat gue tinggal mengenal ayahnya sebagai sosok yang baik, kebetulan ayah gue yang bekerja di dinas pendidikan kota Yogya juga menjalin hubungan baik dengan keluarga ayah Miyana, dan saat itu kakak laki-laki tertua gue akan segera menikah, jadilah gue dan ibu mampir ke rumah ayah Miyana untuk mengantarkan undangan. Ayah Miyana menerima undangan yang diberikan ibu di teras rumah mereka sambil berbincang sebentar, sementara gue hanya berdiri di dekat pagar. Lalu tak lama ada anak perempuan muncul dari pintu, dia hanya sekilas memerhatikan ibu gue dan ayahnya berbincang lalu mengambil sesuatu, gue lupa sih apa yang dia ambil, mungkin sepatu atau mainannya yang tertinggal di teras, dan gue nggak bisa untuk nggak memerhatikan seorang gadis kecil dengan wajah kebule-bulean itu. Dia cantik. Iya, gue yang waktu itu umurnya mungkin 10 atau 11 tahun, untuk pertama kali mendeskripsikan lawan jenis yang seusia gue juga dengan sebutan “cantik”, Lo harus paham Miyana dewasa cantiknya kayak apa, keterlaluan man!

     Gue hampir nggak pernah bertemu Miyana lagi sejak saat itu karena kami tidak bersekolah di tempat yang sama, ya anak SMP zaman dulu sih nggak seaktif sekarang ya bund, sudah berani datang sendiri ke rumah cewek yang mereka suka, atau memang cuma gue aja yang culun? Gue saat itu belum naksir Miyana, yang bener aja, gue akil baligh juga belum, gue cuma anak laki-laki yang penasaran dengan gadis bule ini, gue belum pernah ketemu orang bule lain pada masa itu, pernah sih gue liat beberapa turis di Yogya, tapi ini beda lho, ini tuh kayak lo mungkin bisa jadi temen mainnya, lo punya temen bule, oke gue tau gue norak.

     Akhirnya saat gue tamat SMP, gue bilang ke bapak gue kalau gue nggak mau lanjut sekolah kalau nggak disekolahin di sekolah yang sama dengan Miyana. Untungnya bapak gue nggak curiga, mungkin beliau udah sempat cerita ke ayah Miyana. Sebagai orang yang kerjaannya berkaitan dengan pendidikan, orang tua kami pasti lebih selektif dalam memillih tempat belajar untuk anak-anaknya.

     “Kamu mau sekolah di tempat yang sama dengan anaknya Om Hadyan?”

     Gue cuma bisa ngangguk-ngangguk doang.

     “Di SMA Negeri 3?”

     “Iya itu maksud Firga Pak, Firga tadi lupa angkanya. Itu kayaknya sekolah favorit kan Pak? Banyak juga teman Firga yang mau sekolah di sana.”

     Akhirnya dengan akal-akalan gue itu, gue bisa kenal Miyana, bisa berteman dan sewaktu kelas dua SMA, gue satu kelas sama dia! Semesta mendukung banget emang. Jangan tanya berapa cowok yang naksir Miyana saat SMA, gue sampe nggak bisa ngitung saking banyaknya. Tapi yang berani maju hanya beberapa, yang punya tampang oke jugalah, yang kira-kira kalau disandingkan dengan Miyana nggak bakal jomplang, atau yang tinggi badannya nggak lebih rendah dari tinggi badan Miyana, karena yaampun, dia tuh makan apa sih sampe bisa menjulang seperti itu? bikin gue insecure berdiri di samping dia saat upacara bendera.

     Masa-masa SMA gue bisa dibilang era paling menyenangkan sepanjang sejarah gue hidup. Hal yang paling parah cuma remedial ujian Matematika doang, selebihnya mulus kayak tembok baru aja diplamir. Gue satu-satunya cowo yang bisa jadi sahabat Miyana. Karena yang lainnya udah pasti naksir dan pada baper sama dia. Cowo-cowo yang naksir Miyana itu juga ikutan deketin gue dong, dari mulai temen sendiri sampe kakak kelas, kadang keliatan banget modusnya ngebaik-baikin gue supaya bisa ikut nongkrong bareng Miyana dan juga teman-teman wanitanya pada masa itu. Tapi saat gue udah memasuki semester 2 di kelas 3 SMA, ada rasa khawatir yang tiba-tiba aja muncul. Rasa khawatir kalau mungkin aja gue nggak akan bareng-bareng Miyana lagi.

     “Mi, kamu nanti mau kuliah kan? Di UGM ya?” Tanya gue ke dia yang sedang menyalin tugas fisika gue di jam istirahat. Iya, Miyana tuh benci banget sama Fisika.

Lihat selengkapnya