“Mas, gamau pake saus?” Tanya Puteri saat gue mencomot satu slice pizza yang langsung gue santap. Lagian, emang gini kan cara terbaik menikmati pizza, dipegang langsung pake tangan, bukan ditempatkan di piring, dipotong-potong lagi pake pisau lalu dimakan dengan cara memasukkannya ke mulut dengan bantuan garpu. Itu sih cara makan steak. Bisa-bisanya Puteri dan Miyana cara makan pizzanya sama, takut banget sama bakteri yang nempel di tangan kali ya?
Puteri langsung meraih botol saus dan menuangkannya di piring gue setelah gue mengangguk mau. Dan saat itulah gue ngeliat dengan jelas cincin yang terpasang di jari manis Puteri. Dia tau nggak ya kalau bukan gue yang milihin cincin itu buat dia?
Sebenarnya gue mau banget melamar dia dengan cincin yang gue pilih sendiri, tapi rasanya waktu itu entah memang terlalu mendadak menurut gue atau memang gue aja yang bego, nggak bisa milih cincin yang tepat buat calon istri gue. Kayaknya sekitar dua bulan yang lalu, gue kebetulan ada meeting sama talent untuk jadi guest star di program gue. Karena dia lagi di Plaza Indonesia, gue samperin aja biar bisa ngopi bareng sambil ngomongin kerjaan. Kelar dari situ, tiba-tiba aja Ibuk gue telpon.
“Ga, wes dibelik belum cincin buat lamarannya? Kalo yang lain-lain bisa Ibuk urus di sini, tapi kalo cincin kan penting, siapa tau kamu mau beli dan pilih sendiri.”
“Buk, ini kan masih awal bulan, lamarannya masih lama kan? Lagian kenapa harus buru-buru Buk? Nanti disangka keluarganya Puteri, saya yang nggak sabar Buk.”
“lho, justru orang tuanya yang minta disegerakan, kalo bisa sebelum Puteri ke Jakarta Ga, kan setelah dapat gelar baru, dia dinasnya nanti di Jakarta, jadi deket sama kamu. Memangnya kamu nggak tau?”
“Iya, tau kok Buk. Tapi saya nggak tau kalau lamarannya mau dipercepat. Maaf Buk saya lupa, kemaren buk bilang tanggal berapa ya?”
“Tanggal 16 Ga.”
Ibuk menyudahi panggilan telponnya setelah gue meyakinkan dia kalau gue akan segera membeli cincin buat acara lamaran. Gue bahkan langsung cari outlet Tiffany & Co mumpung masih di PI, sambil ngebuka kalender di hape gue untuk tau tanggal 16 tuh hari apa, tapi secara nggak sengaja, gue malah ngeliat reminder ulang tahun Miyana di tanggal 27. Gue jadi kepikiran mau beliin Miyana kado apa, secara pas gue ultah dia ngasinya Tag Heuer, masa pas dia ultah gue cuma bawain kue gluten free dan red wine kesukaan dia.
Gue yang awalnya melangkah penuh percaya diri, saat masuk ke dalam toko tiba-tiba jadi mumet mendadak. Ternyata milih cincin untuk melamar, hampir sama sulitnya dengan mencari dan menemukan perempuan yang akan kita lamar dengan cincin itu. Serius gue. Gue aja kalo nggak dibantuin ibuk, mungkin gue bakal lama ngejomlo dan bisa aja difitnah homo.
“Kalau cincin yang untuk melamar, boleh diliat-liat di bagian sini Mas.” Salah satu penjaga toko mempersilakan gue duduk di depan etalase cincin yang kilaunya bikin gue pusing.
Mbak-mbak penjaga tokonya pun mulai memilih satu persatu cincin yang selanjutnya diletakkan di wadah khusus dan menyodorkannya di depan gue. Ada kali 5 cincin yang sudah dipilihkan, dan gue malah makin tambah pusing ketika dia mulai menjelaskan tentang cincin-cincin itu.
“Bagus semua ya Mbak cincinnya.” Ujar gue bingung.
Yakali Mbak-mbaknya bakal ngejawab, “Enggak Mas, nggak bagus semua, itu ada yang sompel permatanya, Masnya aja yang nggak teliti”
“Kalau Masnya masih bingung, mungkin ada permintaan khusus seperti ingin yang berapa carat, atau range harga, budget tertentu? Biar saya bantu pilihkan berdasarkan itu Mas.”
Gimana ya, I’m about to ask a woman to be my lifetime partner, dan dia seorang Dokter, baru aja dapat gelar baru sebagai Dokter Anak, masa iya cincin yang gue kasi harus ada budgetnya. Gue tau gue bahkan nggak bisa pulang ke Jogja untuk melamar langsung, karena gue ada jadwal shooting. Setidaknya cincin ini bisa mewakili gue, jadi bener-bener harus yang kece, ya seenggaknya lebih kece dari gue.
“Soal carat-carat itu saya nggak ngerti mbak, kalo budget, nggak ada budget khusus sih Mbak. Yang penting cincinnya itu looknya nggak berlebihan, nyaman dipake, tidak mengganggu pergerakan jari saat lagi nulis mungkin?”
Apaan sih? Gue jadi ngerasa bego setelah beberapa detik, gue sadar cincinnya itu kan bakal dipake di jari manis tangan kiri ya? Gimana ceritanya bakal bikin susah nulis? Kecuali si Puteri left handed. Eh, Puteri nggak left handed kan?
Gue sempat melihat si Mbak-mbaknya tersenyum tipis, itu juga mungkin udah berusaha keras untuk nggak ngetawain gue. “Baik Mas, sebentar ya, saya ambil beberapa yang mungkin bisa masuk kriteria.”
Saat si Mbak pegawai toko tadi berjalan mendekati etalase lain, dan gue mengikuti, pandangan gue malah tercuri ke sebuah anting-anting yang sebenernya biasa aja, tapi kok gue pengen ngeliat itu lama-lama ya? Dan yang langsung ada di benak gue adalah wajah Miyana, dengan anting-anting itu yang menggantung di telinganya, it’s a perfect match, anting-antingnya malah yang terpancar kecantikannya, bukan Miyana. Miyana sih udah cantik dari lahir.
“Mbak, boleh liat yang itu?” gue menunjuk ke arah anting-anting itu dari luar kaca etalase. “Itu earrings kan?”
Si Mbak mengangguk, “Boleh Mas.”
Gue tersenyum saat menyentuh anting-anting itu, dan gue rasa itu bisa jadi kado yang tepat buat gue kasi ke Miyana di hari ulang tahunnya nanti.
“Ini berlian kan Mbak?”
Stupid question again. Ya kali batu akik Ga.
“Iya mas, Drop Earrings, Diamond by The Yard 0.50 carat.”
Suka banget gue ngeliatnya, dan bakal lebih suka kalo Miyana yang memakainya. Tapi saat si Mbak-mbak tersebut menyebutkan harganya, gue refleks menelan ludah.
Ya Tuhan, gue belum beli perabotan buat rumah gue yang baru selesai renovasi. Tapi kalo dibandingin sama Tag Heurer yang dibeliin Miyana sih ini masih kalah harganya.
“Mbak, kayaknya saya mau ini aja deh. Cincinnya ntar aja, saya pusing milihnya.” Ucap gue mantap.