Gue pernah baca psychological research yang diberi nama “Survei Khawatir Nasional” dalam buku Filosofi Teras-nya Henry Manampiring. Itu bukunya Miyana by the way, dia emang suka banget baca tapi yang gue tau dia suka membaca cerita fiksi. Awalnya gue bertanya-tanya sendiri, ngapain Miyana baca buku self improvement kayak gitu? Apa yang salah dari dirinya? Dari hidupnya? Karena penasaran, gue akhirnya ikutan baca, dan surprisingly gue baca sampai abis, means the book was fine. Gue suka.
Nah, di buku itu, merujuk pada hasil survei, lahirlah sebuah pernyataan bahwa perempuan cenderung lebih khawatir dari laki-laki. Dijelaskan oleh seorang psikolog klinis, hal itu bisa terjadi karena adanya gender role, karena laki-laki selalu diharapkan lebih kuat dari perempuan, sudah automatically dianggap atau dipaksa harus bisa menghadapi ketakutannya. Sedangkan perempuan, yang mostly lebih ekspresif dalam menyatakan perasaannya dibandingkan laki-laki, akan lebih mudah menunjukkan atau menceritakan rasa cemasnya itu. Well, ini mungkin memang hanya sebuah kesimpulan dari hasil survey yang bahkan respondennya 70% perempuan, populasi manusia di dunia ini aja lebih banyak perempuan dari pada laki-laki, tapi tetap aja gue bingung sama hasil surveinya. Karena gue sebagai laki-laki, sering banget khawatir sama hal-hal yang ada di hidup gue.
Dan kalau dipikir-pikir, laki-laki tuh wajar banget lebih khawatir dibanding perempuan. Laki-laki tuh bakal jadi kepala keluarga, pasti macam-macamlah kekhawatiran dan ketakutannya. Khawatir gak bisa menafkahi istrinya, khawatir akan masa depan anak-anaknya, khawatir dengan karirnya dan juga khawatir terhadap hal-hal kompleks lain dengan masalah dia sendiri, bukan hanya di keluarganya.
Saat ini aja gue sedang khawatir. Bukan khawatir karena bakal ninggalin Puteri di rumah gue sendirian selama gue pergi ke luar kota buat shooting, tapi gue khawatir sama Miyana. It’s been 3 days gue benar-benar nggak bertemu dan nggak berkomunikasi dengan dia, walaupun setiap gue ada jadwal ke luar kota dan shooting di area susah signal tanpa kabar dari Miyana berhari-berhari, rasanya nggak pernah se-nggak-enak ini karena gue tau saat gue pulang ada senyumnya yang udah gue nanti-nanti.
“Hati-hati di jalan ya Mas, call me” Puteri mengantar gue berjalan ke depan rumah saat taksi online yang gue pesan sudah tiba. Siang ini gue dan tim bakal berangkat ke Lombok, tapi gue memilih pergi dari rumah pagi-pagi karena mau mampir ke kantor dulu untuk ambil beberapa barang, dan karena gue khawatir sama keadaan Miyana, gue langsung berniat untuk mampir ke apartmentnya juga.
“Mungkin aja nanti aku kejebak di daerah yang susah signal, jadi nggak bisa nelpon.”
Puteri tersenyum paham sambil berpikir untuk mengoreksi kata-katanya tadi “Okay… call me, when you have a chance”
Gue mengangguk. “Kamu hati-hati ya, kalau misalnya nggak berani sendirian di rumah, boleh ajak temen kamu buat nginep”
“Bolehnya temen cewek atau cowok?”
What the fuck? Gue yang tadinya udah mau buka pintu mobil malah noleh lagi.
“Hehe, becanda…” Puteri pun menertawakan ekspresi terkejut gue.
“Bikin khawatir ya becandaan kamu.”
Tuh kan? Ternyata segampang itu gue khawatir.
“Khawatir aja nih Mas? Nggak takut?” Tanyanya merayu.
“Kamu tau nggak bedanya khawatir dengan takut?” Tanya gue ke dia.
Meminjam lagi dari jawaban psikolog klinis, Wiwit Puspitasari, takut adalah perasaan psikologi yang muncul saat ada ancaman yang memang terjadi ada di dekat kita, sangat konkret, kind of immediate threat. Sedangkan khawatir, hampir sama dengan takut, namun takut akan sesuatu yang masih di depan. Masih nanti in the future, dan kita nggak benar-benar tau akan terjadi atau tidak.
Gue punya contohnya biar kalian mudah memahami. Saat ini gue sedang khawatir dengan keadaan Miyana. Mungkin akan sakit rasanya kalau gue tau Miyana justru baik-baik saja setelah berpisah dari gue, seolah bertahun-tahun kami bersama, entah dalam hubungan yang dinamakan friendship atau other kind of relationship-you name it-itu tidak ada artinya bagi dia. Tapi kalau gue harus menanggung rasa sakit itu sendiri pun tak apa, yang penting hal ini sama sekali tidak berefek buruk pada Miyana, seenggaknya nggak bikin Miyana sedih sampai hilang semangat hidup seperti saat dia kehilangan Ibunya dulu. Ini udah tiga hari sejak pertemuan terakhir kami di apartment Miyana, gue sudah rindu, dan rindu yang dibarengi dengan rasa khawatir itu, salah satu perasaan berbahaya yang gue punya.
Gue hafal rutinitas Miyana di pagi hari, kalau nggak ada jadwal kerja pagi-pagi, biasanya dia jam segini masih sarapan. Menikmati menu breakfast apapun yang bisa dia buat dengan mudah dengan menggunakan Avocado. Entah itu dia cuma bikin toast bread, sunny side-up dengan avocado slices, atau merobek-robek all kind of lettuce yang dia punya di kulkas, lalu menambahkan boiled egg dan avocado cube, atau yang paling gampang biasanya dia menghancurkan satu buah avocado dengan cara dibejek-bejek, gue gak tau istilah lain selain ini, tapi kayaknya kalian pahamlah ya proses bikin Guacamole yang biasa dinikmati Miyana dengan cara di-spread di atas sourdough.
Langkah kaki gue semakin mengecil saat hampir sampai di depan pintu apartment Miyana, tapi gue nggak akan memutar arah. Walaupun harus dirobek-robek seperti dia merobek selada untuk sarapan paginya, atau mungkin gue yang ngarep kalau dia mencintai gue meski seperti dia mencintai avocado dan gue harus dibejek-bejek dulu pagi ini, gue udah siap. Gue rela asalkan gue bisa ketemu Miyana dan melihat dia baik-baik saja.
Gue makin deg-degan setelah gue nggak dapat jawaban apa-apa saat gue udah ketuk pintu berkali-kali dan menyadari bahwa Miyana telah mengganti password digital door lock di apartmentnya itu. Gue udah coba input password yang biasa tapi failed, pintu nggak kebuka, gue udah coba input angka tanggal lahir Miyana tapi salah juga, ya Miyana nggak pernah pake tanggal lahirnya juga sih. Akhirnya dengan sedikit kecewa, gue menelpon Irene.
“Lo ada perlu sama Miyana? Atau lo mau ambil barang yang ketinggalan Ga?”
“Gue mau mastiin Miyana baik-baik aja Ren”
“Ohh, she’s not. Kemaren dua hari dia beneran nggak mau ke mana-mana dan nggak mau ngapa-ngapain selain rebahan. Terpaksa gue cancel beberapa jadwal dengan alasan dia sakit, tapi hari ini dia bilang dia udah bisa beraktivitas seperti biasa sih, ini dia lagi dandan, mau photoshoot.”
“Tapi dia sehat kan Ren?”
“Dengan jenis makanan yang dia konsumsi setiap hari, yup, physically healthy, but you know what she feels Ga.”
Gue hanya menghela napas, bingung juga gue harus gimana.