Dulu, saat umur gue baru early 25, produser gue cerita kalau dia akan segera resign dari jabatannya karena berniat akan menikah dalam waktu dekat. Gue waktu itu masih jadi Production Assistant, dan Mas Arif, produser gue ini, memberi gue saran untuk mengejar karir sebagai produser yang mungkin bisa menggantikan posisinya setelah dia resign, apalagi saat itu rating program Eksplorasi Negri lagi bagus-bagusnya, jadi nggak mungkin kalau acaranya yang dihentikan.
“Tapi kenapa mesti resign Mas?” Tanya gue bingung menanggapi pernyataannya.
Mas Arif tidak langsung menjawab, ia meneguk secangkir kopi yang tadi gue bawakan ke mejanya. Kami dan beberapa crew lainnya harus lembur malam itu untuk ngurusin post production.
“Kerja begini kan pilihan gue, saat udah nikah nanti, hidup gue bukan milik gue sendiri kan? Mana bisa lagi gue bebas melancong sana-sini berhari-hari. Intinya, ini udah termasuk dalam kesepakatan gue sama calon istri gue sebelum nikah sih”
Gue mengangguk-angguk paham.
“Gue ngelihat Lo ada potensi buat gantiin gue, makanya gue ngebiarin Lo tau rencana resign gue ini, anak-anak lain belum pada tau.”
Gue tersenyum menghargai opini Mas Arif yang menurut gue juga sebagai pujian atas kinerja gue selama ini.
“Tapi kayaknya pengalaman gue belum cukup deh Mas untuk jadi Produser, untuk program besar kayak gini.” Ucap gue nggak pede.
“Ya gue juga kurang merhatiin lo di lapangan sih, tapi lo lumayan bagus lah kalo megang post production. Lo tau mana scene yang harus dibuang, mana yang harus dipoles dengan effect-effect yang selalu lo pilih dengan tepat. Shit, ternyata gue sama ya dengan pemirsa di rumah, yang dinilai ya hasilnya yang udah selesai, ribet waktu pengambilan videonya gue malah nggak mau tau haha.”
Mas Arif kembali meminum kopinya, dalam hati gue sempat tertawa juga saat dia tertawa, iya juga sih, editing memang susah, tapi kalo pengambilan videonya nggak bagus, outcomesnya ya nggak bakal bisa bagus juga.
“Ya, menurut gue sih, gak ada salahnya kalo lo nanti mengajukan diri. Nggak mau apa jadi produser? Incomenya gede lho, lo pasti butuh kan buat ngelamar pacar hahaha”
Mas Arif lagi-lagi tertawa, emang ini sih yang kita-kita butuhin ketika break saat lembur biar nggak ngantuk dan tertidur. Gue pun ikut tertawa menertawakan diri gue yang belum punya pacar dan sedikit pun belum ada keinginan buat nikah.
“Udah yuk, balik ke ruangan editing kita”
“Eh tapi Mas, kapan sih lo tau kalo lo udah siap buat nikah? Maksud gue, we are guys, cowo tuh kebanyakan mau nikah karena udah didesak sama pasangannya atau sama keluarganya kan?”
“Dan karena udah hamil duluan sih biasanya” Sambung Mas Arif bercanda.
“Gue serius Mas, karena gue ngeliat lo selama ini, di kantor atau di lapangan, lo tuh kayak easy going aja gitu sama hidup lo, nggak nyangka aja kalau lo bakal mulai berkomitmen secepat ini.”
“Jadi empat tahun gue kerja di sini, dan 2 tahun produce program sendiri, itu bukan komitmen namanya?”
Gue tertegun bingung.
“Banyak sih emang yang nggak nyangka kalo gue yang modelannya cuek dan santai banget ngejalanin hidup ini memutuskan untuk married before thirty, tapi ya gimana, gue punya pasangan yang udah hampir 5 tahun gue pacarin, keluarga gue dan keluarga dia udah tau, restu udah gue kantongin, modal nikah juga udah gue kumpulin, ada banyak mungkin cowo di luar sana yang pengen berada di posisi gue sekarang, udah gampang, tinggal ijabkabul doang. Jadi nggak mungkin lah gue sia-siain kesempatan ini.”
“Ya tapi Lo tau kalo Lo udah bener-bener siap itu gimana Mas? Saat kapan? Apa tanda-tandanya?”
“Waduh, itu sih susah dijelasin ya Ga, harus lo sendiri yang ngerasain.”
Gue mengangguk datar dan kurang puas dengan jawaban Mas Arif.
“Gini deh Ga, menurut gue, Lo nggak akan pernah siap, kalo Lo nggak siap-siap”
“Maksudnya?”
“Ya kita kalo mau ngetrip aja, persiapannya banyak dan ribet banget, mulai dari nentuin mau ke mana, budgetnya berapa, mau ngajak siapa aja, bawa apa aja, banyaklah, lo tau itu. Dan married itu one way trip, masa nggak mau siap-siap dulu.”
Gue terus menyimak kata-kata Mas Arif, bijak juga atasan gue yang satu ini ya, pantes aja sukses jadi produser.
“Gue selama ini udah siap-siap. Nabung, mulai nyicil hal-hal yang mungkin gue butuhkan saat berumah tangga nanti, ya memang bukan cuma soal materi aja sih yang butuh dipersiapkan, mental juga. Tapi dengan berkomitmen terhadap kerjaan gue, bertanggung jawab atas program yang gue bikin sendiri dan akhirnya gue bisa merasa ikhlas melepas itu semua, gue bangga akhirnya gue sampe ke titik itu, di mana gue tau kalau gue bakal mampu untuk menjalani tahap hidup yang baru. Anjir, gila nggak tuh kata-kata gue barusan? keren bener gue ya udah kayak Mario teguh hahaha” Mas Arif kembali meneguk kopinya, lalu memeriksa notifikasi handphonenya.
“Lo pasti nanya gitu karena Lo belum kepikiran buat nikah kan?”
“Yaa… gitu deh Mas”
“Ya wajarlah, Lo juga masih muda. Tapi, someday, Lo mau nikah kan?”
Gue mikir-mikir sebentar hingga akhirnya gue menjawab “Ya mau sih Mas”
“Nah, mending Lo siap-siap dari sekarang, mulai serius sama jenjang karir Lo, ikutin tuh saran gue tadi, kalo emang rezeki kan nggak bakal lari kalo dikejar.”
Dalam hati, gue nge-iya-in saran Mas Arif. Setelah menenggak habis kopinya, Ia pun berlalu sambil menepuk pundak gue, yang langsung gue artikan sebagai ajakannya untuk bangkit dari duduk gue dan pindah ke ruang editing buat kelarin deadline. Gue pikir-pikir hidup kita ini juga all about deadlines, dari kecil udah punya deadline harus tamat TK 2 tahun, SD 6 tahun, SMP, SMA, Kuliah, pokoknya banyak deh deadline lainnya, dan sekarang giliran hubungan gue dan Miyana yang udah mendekati Deadline.
Gue nggak pernah nyangka, setelah apa yang udah gue lakukan bareng Miyana selama ini, termasuk malam khilaf kami berdua itu, you know malam yang mana yang gue maksud, nggak mampu bikin gue dan Miyana terus bersama. Gue masih ingat pagi setelah malam itu gue bingung harus gimana, gue harusnya langsung pergi, atau nunggu Miyana bangun untuk mastiin kalau yang kami lakukan malam tadi bukan sebuah kesalahan, atau seenggaknya dia dalam keadaan sober. If she was that drunk, then it won’t be right.
Gue lagi bikin omelette untuk sarapan kami berdua saat Miyana keluar dari kamar, sudah rapi dan sudah berdandan. Dia menghampiri gue di dapur, dan gue sempat merasa canggung.
“I don’t know your schedule, jadi aku nggak bangunin” ucap gue ke dia yang sedang membuka lemari es, lalu mengambil sebotol almond milk.
“It’s okay. Kamu bikin apa?”