Wine & Water

Okia Prawasti
Chapter #13

Katanya Jovadi - It's So Wrong But Feels So Right

Hugh Grant, Liam Neeson, Jason Statham, Iko Uwais, Fedi Nuril. Nama-nama itu yang cepat terlintas di kepala gue kalau lagi ngomongin aktor dengan image yang melekat serta peran yang itu-itu aja.

     Hugh Grant, bagi gue yang diam-diam suka nontonin film romcom, gue udah hapal banget di film apa aja dia berperan sebagai pria Inggris romantis dengan watak yang hampir mirip. Kalau Liam Neeson sih sebenarnya sudah memainkan berbagai macam peran yang cukup beragam, tapi bagi gue, peran Liam Neeson sebagai seorang solo fighter di film-filmnya dia seperti Taken, Non-Stop, Unknown, The Commuter, Cold Pursuit, itu melekat banget di otak gue, hampir sama lah dengan Jason Statham, berantemnya sendirian, musuhnya keroyokan, tapi tetap aja endingnya jadi pahlawan. Nah, kalau aktor Indonesia, mungkin karena genre filmnya juga sama nih, sama-sama film laga, maka karakter yang didapat Iko Uwais juga sama. Padahal mungkin bisa aja jadi menarik ya kalau Iko Uwais main film romance, ya siapa tau kan? I’m just saying. Kalau peran pria atau suami idaman yang baik hati, selalu jatuh kepada Fedi Nuril dong sejak zaman Ayat-Ayat Cinta sampai Surga Yang Tak Dirindukan jilid 3.

     But I enjoyed all of their movies a lot. Yang tidak gue nikmati sekarang adalah kenyataan bahwa gue, juga termasuk dalam jajaran aktor dengan peran yang itu-itu aja. Yup, gue Jovadi Rey Wensen, baru main tiga judul film layar lebar dan satu judul web series sebagai lead character, dengan memerankan karakter yang hampir sama, yaitu cowo bangsat alias fuckboy, dan langsung dengan magisnya karakter “cowo bangsat” itu melekat di gue sampai sekarang. 

     Kadang gue sempat merasa bangga, karena mungkin ini akibat akting gue yang bagus maksimal, tapi gue juga sempat mikir, apa mungkin gue punya bakat jadi fuckboy yang bangsatnya natural? Dan saat ini pertanyaan itu muncul lagi di dalam kepala gue, yang terus gue jawab sendiri dalam hati. “I’m not taking the advantage from that situation, I choose to leave. Jadi gue bukan cowo brengsek”

     Gue masih salah tingkah saat lift sudah membawa gue ke lantai basement apartment Miyana malam itu. Gue langung melangkah cepat begitu pintu lift terbuka. Ada untungnya juga gue di dalam lift seorang diri, jadi nggak ada yang ngeliat gue gelisah sambil beberapa kali menyentuh bibir gue sendiri saking bingungnya dengan sesuatu yang terjadi beberapa menit yang lalu.

     “Lama banget lo? Ngapain aja?” Tanya Henri manager gue, saat gue langsung masuk mobil dan duduk di front seat.

     “Ciuman.” Tentunya ini jawaban yang gue ucapkan dalam hati.

     “Ya basa-basi bentarlah, masa langsung kabur gitu aja”

     “Basa-basi atau flirting?” mulai rese nih si Henri.

     Gue hanya meliriknya dan memasang tampang males, tapi sebenarnya gue pengen banget ceritain ke dia apa yang barusan kejadian. “Udah, buruan jalan. Gue ngantuk.”

     Ngantuknya juga udah hilang kali saat gue ngomong gitu ke Henri. Mana bisa gue tidur nyenyak seperti saat di pesawat tadi pagi, dari Bali ke Jakarta gue full terlelap di udara, justru nanti gue bakal susah tidur karena kepikiran Miyana. Salah gue juga kenapa gue tetap nungguin travel bagnya Miyana saat ngantri di conveyor belt, sementara Miyana langsung berlalu ketika melihat seseorang yang dia kenali, Iren juga malah ikutan pergi. Salah gue juga yang menolak ide Henri untuk kirim travel bagnya ke rumah Iren pake ojol, hanya karena gue malam ini ada off air di stasiun TV dekat gedung apartment Miyana. Dan ini semua salah gue, kenapa gue nggak bisa nolak? Entah itu menolak ajakannya untuk masuk ke ruang apartmentnya, atau menolak untuk tidak menerima ciumannya. Damn it Jo! Justru masalahnya ini bukan tentang elo yang menerima dengan pasrah, tapi ini karena elo yang membalas dengan penuh gairah. 

     “Jo?” Respon Miyana heran ngeliat gue tiba-tiba muncul di depan pintu apartmentnya di larut malam begini.

     “Lo udah tidur ya? Sorry ya ganggu, Gue mampir mau nganter ini” Gue menunjukkan travel bag medium miliknya. “Tadi kebawa di mobil gue”

     Miyana hanya melirik sebentar travel bag-nya, matanya yang saat itu menurut gue lebih mirip orang ngantuk daripada orang mabuk, kembali menatap gue.

     “Come on in” Ia mengajak gue masuk ke ruang apartmentnya. Tanpa ragu, gue mengikuti langkahnya yang sedikit terhuyung saat membalikkan badan. Mata gue langsung menangkap sebotol red wine di atas meja yang isinya sudah habis separuh, dan satu gelas kosong di dekatnya. Gue kembali melirik Miyana dan gue tau kalau dia bukan mengantuk.

Lihat selengkapnya