Only if you find peace within yourself, will you find true connection with others.
Kata-kata si Palm Reader di film Before Sunrise ini emang nempel banget di otak gue. Entah karena Before Sunrise adalah film romance pertama yang gue tonton, dan udah gue rewatch berkali-kali termasuk pagi ini, atau mungkin karena makna dari kata-katanya itu bikin gue paham dengan makna kebahagiaan.
“Sering banget gue di dunia ini ngerasa sendirian Jo, gue nggak punya siapa-siapa. Temen gue pernah bilang, sosok Ibu adalah orang yang paling tau hal yang terbaik untuk anaknya, sementara Ayah adalah orang yang akan melakukan apa pun untuk kebahagiaan anaknya, while in my case, me and my biological father do not have history, we don’t share the same memories and feelings, there’s no such a connection between us.” Gue masih teringat aja kata-kata Miyana ini, saat kami nongkrong di Alchemy Bali beberapa hari yang lalu, tapi justru apa yang dia ucapkan setelahnya yang bikin gue nggak setuju. “Then no one would put all the effort to make me happy Jo.”
Dan yang bikin gue bingung sekaligus khawatir ke Miyana adalah, balasan dari Henri atas chat Whatsapp gue tengah malam tadi.
“Iren bilang Miyana nggak papa sih, biasalah masalah asmara doang itu. Setau lo dia punya pacar nggak sih? atau mungkin dia baru putus kali ya, makanya masih agak-agak galau.”
Jadi maksud Miyana no one would put all the effort to make her happy itu sosok ayah, atau cowo lain yang udah bikin hatinya patah?
Di antara banyak hal aneh di dunia ini, ada satu yang gue setujui. Aneh banget kalau bahagianya kita malah bergantung dari apa-apa yang orang lain lakukan. Bukankah bahagia itu adalah rasa yang harus kita perjuangkan seorang diri? Tinggal cari, pilih dan menemukan aja, mau pakai cara yang mana. Bisa pakai cara yang disebutkan Palm Reader ke July Delpy di film Before Sunrise tadi misalnya. Gue sih mengartikannya begini, if we wait for others to complete us, then we never be able to have peace in our mind whenever we’re alone. And that peace of mind means happiness for me. Jadi penting banget menurut gue skill untuk membahagiakan diri sendiri itu, karena dengan gitu juga kita mampu membahagiakan orang-orang yang kita sayang. Duh, jadi teringat dialognya Reza Rahardian di film Kapan Kawin, tentang menjadi bahagia dengan membahagiakan orang tersayang itu kadang lebih banyak yang fiksi. Kita harus bisa bahagiain diri sendiri dulu, sehingga bisa membagi kebahagian itu.
“Seneng yang kamu kasi ke mereka itu, itu kayak cek kosong. Kalau kamu mau kasi duit, (harus) punya duit dulu. Kalau mau bikin seneng orang, kamu dulu yang seneng.” Ahh.. kapan ya gue bisa acting sekeren Reza Rahardian, kebagian peran yang itu-itu aja bikin gue nggak bisa eksplor karakter yang berbeda. “Jo… Jo… kalau ada nyokap lo pasti udah ditabok duluan lo kalo ngomong gitu, kayak orang yang nggak bersyukur aja.”
Okay… okay… gue revisi deh kata-kata gue barusan. Nggak papa kebagian peran yang sama terus, ntar juga lama kelamaan penonton bosen ya kan? Terus gue ditawarin peran yang berbeda. Belum kebagian kan artinya belum rezeki ya? Yang penting nikmati dulu dengan benar apa yang kini udah didapat.
And then tell me, apa cara yang lebih benar dari menikmati off day di hari yang gloomy ini, selain bangun agak siang, olahraga cuma lari-lari kecil di treadmill, sambil nonton film Before Sunrise, terus abis itu sarapan nasi uduk depan komplek, menunda mandi karena tidak ada rencana pergi, lalu sekarang masih berleyeh-leyeh di sofa mau ngelanjutin nonton Before Sunset, sambil nunggu jam makan siang dengan Coto Makassar buatan Bu Sri yang lezatnya udah kebayang-bayang.
Seneng banget gue ketemu sama Bu Sri. Anak-anaknya pasti seneng punya ibu kayak beliau, ya.. sama kayak anak-anak lain yang berbangga dan bahagia memiliki ibu mereka yang luar biasa, tapi maksud gue itu gini, gue aja yang bukan siapa-siapanya Bu Sri, seneng banget bisa berjodoh dipertemukan sama dia, gimana kalau orang yang ditakdirkan menjadi keluarganya, pasti lebih seneng dong. Orang-orang boleh nganggap dia hanya sekadar ART, tapi bagi gue Bu Sri itu penolongnya gue, yang nolongin ngurus ikan-ikan gue kalau gue lagi di luar kota, yang ngeberesin dan bersihin rumah, yang ngebelanjain daily needs supaya kulkas gue nggak pernah kosong, jadi kalo gue lapar tiba-tiba selalu ada makanan yang gue temukan.
Selain bisa dipercaya, Bu Sri ini orangnya baik pula, dan surprisingly jago masak juga, dia bersedia masakin gue makanan-makanan yang gue rindukan. Salah satunya Coto Makassar. Masalah rasa jangan ditanya lagi, cita rasa khas rumahan banget, enak, tapi nggak lebay karena kebanyakan micin gitu. Kerasa banget kaya rempah-rempah dari aroma kuahnya yang agak kental ini, sensasi gurih dan pedasnya pas, dagingnya lembut dan dengan taburan bawang goreng asli, kayaknya gak ada alasan lagi untuk nggak mensyukuri nikmat yang satu ini.
“Ya lebih nikmat kalo makannya bareng pasangan lah… ya nggak?” Ujar Henri merespon aksi gue yang sejak tadi nggak henti-hentinya memuji nikmatnya masakan Bu Sri.
“Kalau terus dibanding-bandingkan, akan selalu ada emang yang lebih mendingan.” Jawab gue.
Tiba-tiba tuh anak udah nongol aja di rumah gue, malah ikutan makan juga. Kan jadi berkurang jatah Coto Makassar gue. Bukannya pelit ya, when it comes to savory food, pasti lah kalian juga pernah merasa nggak rela untuk bagi-bagi.
“Bener-bener beruntung sih lo punya Bu Sri, dia tuh yang Lo bilang direkomendasikan sama temen lo itu ya?” Tanyanya setelah menyeruput kuah langsung dari tepi mangkuknya.
“Alex. Lo tau Alex kan?”
“Alex? Brian Alexander? Selebgram itu kan? Gue nggak tau lo temenan sama dia”
“Emang enggak. Sekadar saling follow di sosmed aja sih. pernah ketemu di project yang sama. Terus gue sempat liat di Instagram story kalau dia mau ngejual apartmentnya yang di dekat-dekat sini. Entah kenapa gue iseng reply tuh, dia kira gue mau beli, gue bilang aja kalo gue baru pindah ke wilayah sini, terus sekalian gue tanya lah tinggal sendirian kan ribet, dia pake ART atau gimana. Eh, dia langsung kasi kontaknya si Bu Sri ini. Alex pindahnya agak jauh ke Tangerang, makanya Bu Sri nggak kerja sama dia lagi, jadi rezekinya gue deh.”
“Nah, itu adalah definisi kalo rezeki emang datangnya dari cara yang nggak pernah kita duga.”
Mulai sok bijak nih si Henri.
“Dan rezeki juga bisa direbut dengan cara yang nggak disangka juga. Kayak lo sekarang ini nih, ngambil jatah rezeki gue dengan makan Coto Makassar yang porsinya lebih banyak dari yang gue makan, ngurangin porsi buat dinner gue tuh.”
Henri menahan tawa dan mengunyah makanannya lebih cepat. “Lo jangan berburuk sangka dulu Jo… justru gue ke sini mau mengabarkan rezeki juga nih buat lo, kalo enggak sih gue nggak bakal ganggu off day lo yang cuma satu hari dan membosankan ini, malah cuma marathon nonton Before Sunrise trilogy. Best thing of the day-nya kayaknya emang cuma Coto Makassar ini dan tentunya kabar baik dari gue deh.”
“Emang apaan sih kabar baiknya? Awas lo ya kalo nge-prank doang.”
Henri melahap suapan terakhirnya, menunjukkan telapak tangannya untuk mengisyaratkan gue agar bersabar menunggu dia selesai mengunyah.
“Lo dapet panggilan casting, langsung jadi lead character.” Jawabnya setelah meneguk air putih.
Okay. Beneran rezeki sih ini namanya, seenggaknya si Henri ini nggak bohong.
“Casting apaan? Film? Iklan? Sinetron?”
“Web series. Jadi sebenernya kemaren-kemaren waktu kita masih di Bali, orang Everscene Pictures udah ada yang ngontak gue sih, tapi cuma nanya-nanya schedule lo doang. Terus dua hari yang lalu, mereka minta ketemu hari ini. makanya tadi gue mampir ke kantor Everscene bentar.”
Gue tetap lanjut makan sambil mendengarkan cerita Henri dan sesekali bertanya. Web seriesnya berapa episode: 12 Episode. Genrenya apa: Drama, Romance—dari genrenya aja kayaknya gue perlu curiga—pokoknya bukan teenage series yang sekarang-sekarang ini lagi hits.
“Ntar Lo liat aja script-nya, mereka udah kasi previewnya tadi, supaya saat lo casting nanti udah ada gambaran. Ntar gue ambilin, ketinggalan di mobil kayaknya.”
“Lo kan tadi udah dijelasin tuh sama mereka, sekarang lo jelasin ke gue dulu cerita seriesnya gimana, baru ntar gue baca script previewnya.”
Henri melirik gue, memasang tampang mikir-mikir seolah-olah dia bingung harus memilih kata apa untuk menggambarkan keseluruhan cerita dengan tepat. “Menurut gue sih mereka nggak salah pilih ya, lo cocok banget memerankan karakter itu. Ceritanya tuh menurut gue, kind of Love Affair or something about marriage life gitu bro.”
Love affair? Affair? What kind of affair nih kali ini? Memerankan karakter cowo yang berselingkuh sih gue udah pernah ya, apakah segitu jagonya gue mewakilkan persona cowo-cowo bastard di luar sana makanya gue lagi-lagi disodorin peran yang sama?
“Gue nggak mau ahh.”