Kapan kalian menyadari kalau every story is a love story? Love atau cinta, justru punya makna yang luas banget dan bisa digunakan terhadap berbagai macam objek. Benda, makhluk hidup, pemikiran, fenomena alam, bisa apa aja deh pokoknya, you name it. Dan pasti udah banyak cerita cinta yang kita temukan. Tentang cinta mendalamnya orang tua terhadap anak-anaknya, cinta anak ke orang tuanya, cinta pada sesuatu tertentu, cinta diri sendiri, termasuk juga cinta antara dua insan manusia dari latar belakang yang berbeda.
Asumsi umum dari “Cerita Cinta” biasanya ya langsung mengarah pada hubungan antara pria dan wanita. Mau happy ending atau enggak, tetap aja namanya love story. Justru the most popular ones malah tidak berakhir bahagia bersama-sama. Romeo & Juliet, Sampek Engtay, Qays & Laila from the story of Laila Majnun, Hayati dan Zainuddin-nya Buya Hamka, Rose and Jack dalam Titanic, dan juga Lyra dan Resa dalam series Marriage, Divorced and Everything in Between—if I might add—uppss, spoiler alert!
Setelah akhirnya gue memutuskan untuk ikut casting, dan akhirnya memahami kerangka cerita dari series itu, gue pikir-pikir karakter yang diajukan ke gue ini nggak bangsat-bangsat amat, ternyata bukan gue pria yang diceritakan berselingkuh, tapi kali ini gue yang jadi selingkuhannya, and I think that’s better for me. Okay, kayaknya nggak cocok dibilang “better” juga, let’s say it ain’t worse then.
Speaking of affair, gue juga nggak pernah tau apakah rasa ketertarikan kepada orang lain saat kita sudah punya pasangan itu adalah perasaan yang benar atau tidak. Maksud gue, sebenarnya kita tidak berniat untuk selingkuh, hanya saja kita terlambat menemukan orang yang (menurut kita) cocok dan tepat buat kita.
Menurut gue nggak ada yang salah dengan itu, nggak ada yang salah dari jatuh cinta lagi ke orang yang berbeda, bahkan saat kita telah berumah tangga. Karena ya, namanya juga cinta, nggak bisa milih-milih emang hendak 'jatuh' pada siapa, tapi urusan kesetiaan, tentu itu suatu pilihan yang sangat mungkin untuk diupayakan.
Kalian pada tau kisah Rama dan Shinta kan? Tentang Shinta dan Ramayana yang dipisahkan oleh Rahwana. Diceritakan juga dalam gerak Tari Kecak, Raja Rama dengan berbagai cara berupaya menolong untuk membebaskan Shinta dari Kerajaan Alengka, Shinta juga dengan sabar dan setianya menunggu Rama untuk datang menjemputnya. Meski tidak tau pasti akankah atau kapankah mereka akan bersama kembali, tapi saling memilih untuk setia menjadikan cinta mereka lebih kuat dan abadi.
Di sela-sela gue sedang didandanin gini emang sering banget gue bengong dan mikirin hal-hal yang nggak penting. Misal: Shinta tuh cakepnya kayak apa ya? Kenapa dia lebih milih Ramayana dibanding Rahwana?
Pertanyaan-pertanyaan konyol yang gue pertanyakan sendiri dalam hati itu pun tiba-tiba lenyap dalam pikiran gue saat melihat Miyana melintas ditemani oleh penata busananya. Sore itu kami bersiap untuk sesi pemotretan kedua, dengan menunjukkan beberapa gerakan tari Kecak. Gue sebagai Ramayana dan Miyana sebagai Shinta. Kalau memang faktanya Shinta itu secantik Miyana, pantas aja Ramayana pantang mundur berperang melawan Rahwana.
“Ingetin gue kalo gerakan gue salah ya, agak-agak lupa nih.” Kata Miyana pelan saat kami hendak memulai untuk berpose.
“Okay, gue kirain cewe nggak pernah salah” Canda gue yang hanya direspon Miyana dengan memukul bahu gue pelan.
Meski angin yang bertiup biasa-biasa saja itu bikin gue yang bertelanjang dada ini harus menahan dingin, pemotretan kali ini sama sekali nggak bikin gue capek. Mungkin karena barengan dengan para talent penari, lebih rame, lebih seru, ada beberapa turis yang nonton juga-pasti mereka mengira emang lagi nari kecak beneran, bukan sedang pemotretan-dan mungkin juga karena vibes di pantai Uluwatu malam ini menyenangkan sekali, belum lagi keindahan panorama matahari terbenam menjadi latar belakang yang menawan, yang menghadirkan siluet alami dan menambah efek artistik pada potret kami. Ohh.. I wish it’s a movie, gue sempat ngerasa gue lagi shooting film di mana gue kebagian peran yang berbeda. Gue jadi Ramayana guys, Ramayana, bukan fuckboy atau pria Cassanova.
“Telpon dari Wendy nih,” Henri menggantungkan kain di bahu kanan gue yang langsung gue gunakan untuk menyelimuti badan bagian atas gue yang sejak tadi merasa dingin.“Udah dua kali nelpon, kayaknya penting.” Lalu dia menyerahkan ponsel gue.
“Hai Wen,” Gue berjalan menjauh dari keramaian, mendekat ke tepi pantai. “Ada apa nih? Kangen?”
“Ahahahaha…” Gue ikut tersenyum mendengar tawanya yang renyah.
Wendy ini sahabat gue, satu-satunya sahabat cewe gue mungkin, she’s so kind and sooo humble, seru banget anaknya, saking gue nyamannya ngobrol sama dia, gue pernah heran, kok gue sama dia nggak pacaran ya?
“Gue nggak ngganggu kan? Tadi gue udah sempat nelpon, tapi Henri bilang lo belum kelar pemotretan.”
“Baru kelar nih, pas banget emang waktu lo.”
“Lagi di Bali ya Jo?” Tanyanya basa-basi.
“Iya, projectnya Mas Aggie nih.”
“Ohh.. Mas Aggie..” Responnya yang mengingat kalau kami berdua pernah dipotret oleh Mas aggie juga.
“Bareng siapa Jo?”
“Modelnya gue ama Miyana, sama ada talent lain sih, penari.”
“Ohh Miyana, salam buat dia ya.”
“Lo kenal?” Tanya gue kepo.
“Kenal, pernah pemotretan bareng juga, udah lama sih. Dia cakep kan? Gue aja pas pertama kali ketemu heran kok dia bisa cantik banget gitu.”
Eh, kok malah jadi ngomongin orang?
“Wendy juga cakep kok…” Jawab gue.
“Ahahaha… goceng deh!” Gue dan dia pun sama-sama tertawa.
“Lo kenapa nih niat banget nelpon? Curiga nih gue.”
“Haha… gue nggak tau apa yang lo curigain, but yes, I’m getting married Jo! I’m getting married!” Jawabnya dengan nada penuh bahagia di seberang sana.
“Hah? Beneran nih? To who?” Gue kaget dong, secara si Wendy ini setau gue emang punya pacar, tapi kayaknya belum lama pacarannya.
“To Wira, Jo!”
“To Him?”
“Yup, yup, to Him!”
“To Wira?”
“Haha, stop making sure of it. Yes, I’m gonna marrying him, Fazzil Alwira.”