Jovadi berlari menepi ke luar lapangan, mengambil botol airnya dan meminumnya dengan agak tergesa-gesa. Ia mengatur napasnya yang memburu, menyeka keringat yang mengalir deras di wajahnya dengan handuk kecil, masih sambil menontoni sisa pertandingan malam itu. Setelah bermain kurang lebih enam puluh menit, dan mencetak satu gol dengan susah payah, hingga tendangan penalty dilakukan karena jumlah gol tiap tim imbang, akhirnya Jovadi bisa istirahat sejenak. Dia tersenyum puas saat timnya memenangkan tendangan penalty dan menutup pertandingan itu dengan apik, ia pun menarik napas lega karena sebenarnya sejak tadi dia ingin sekali pertandingan ini cepat-cepat berakhir.
“Kenapa lo? Sehat kan?” Canda Gino yang menghampiri Jovadi, memastikan kalau Jovadi tidak kenapa-kenapa.
Jovadi tersenyum malu-malu, “Sehat kok, cuma bengek aja.”
Gino makin tersenyum meledek sahabatnya itu. “So you’ve already feel it?”
“Feel what?” Tanya Jovadi bingung.
“Feel the life of pemuda jompo haha, starter packnya biasanya kalo nggak koyo, minyak angin atau cream pereda nyeri, kayak lo gini nih, ahahaha…”
“Sial.” Jovadi tidak keberatan oleh candaan Gino dan tetap membalurkan cream pereda nyeri ke kakinya. Saat ia melakukan tackling tadi sepertinya pergelangan kakinya sempat tidak sengaja ketendang oleh lawan.
“Lo masih rutin nge-gym nggak sih? Gue liat-liat permainan lo agak kacau aja haha.”
Jovadi mengangguk. “Itu juga karena gue takut buncit aja.” Jawabnya sekenanya namun memang begitulah faktanya.
“Mungkin kita semua emang lagi pada cape kali ya? Gila, dari tadi kita main nggak ada bagus-bagusnya, nggak ada serius-seriusnya, namanya juga pertandingan just for fun ya.” Ujar gino menanggapi pertandingan yang baru saja selesai itu. Beberapa teman mereka langsung pamit pulang, beberapa masih ngaso istirahat di tepi lapangan, ngobrol-ngobrol ringan khas anak cowo hingga akhirnya tersisa Jovadi dan Gino yang juga memilih untuk cabut dari situ dan berjalan bersama ke parkiran tetap sambil mengobrol.
“Nggak mau minum dulu nih?” Tawar Gino saat mereka tiba di parkiran.
“Gue besok ada shooting pagi, nggak bisa gue kalo minum-minum dulu atau wine night stand bareng lo hahaha…”
Gino mengangguk paham. “Yaudah deh, kayaknya emang lo butuh istirahat sih, udah jompo soalnya.” Ujar Gino kembali meledek Jovadi.
Jovadi tertawa. “Tapi kalau lo ngajak gue makan, ya gue nggak nolak sih.”
Lima belas menit kemudian mereka berdua sudah terduduk dengan dua porsi nasi goreng kambing di sebuah warung kaki lima, tempat favoritnya Gino dengan makanan favoritnya Jovadi.
“Sekarang lo udah punya pacar ya No?” Jovadi teringat kalau dia pernah melihat Gino membagikan moment kebersamaannya itu dengan seorang perempuan yang langsung ia asumsikan sebagai orang spesialnya Gino.
Gino tersenyum, mengangguk untuk meng-iya-kan. “Ya bisa dibilang gitu sih. Kali ini beda aja rasanya, less drama. Semakin kita dewasa, ternyata kita semakin mengidamkan hubungan yang sepenuhnya bisa kita nikmati ya.” Ujar Gino. “Lo gitu juga nggak sih? Maksud gue, bukan lagi melulu soal mengejar cinta dari cewe yang kita taksir, terus kita lakukan apa pun buat dia sampe jadi bucin, dan malah tidak menikmati komitmen dari hubungan itu sendiri. I thought we’ve pass that phase.”
Jovadi menatap Gino, namun Gino masih menunduk melihat ke piring nasinya yang sudah habis separuh itu.
“Kenapa lo ngeliatin gue gitu?” Tanyanya heran saat mendapati Jovadi sedang menatapnya dengan tatapan usil seolah ada beribu tanya yang ingin Jovadi sampaikan.
“Mau kawin lo ya? Dari cara-cara lo ngomong, gue tau lo udah memutuskan untuk serius.” Pertanyaan ini yang Jovadi berikan akhirnya.
Gino hanya tersenyum. Tidak meng-iya-kan namun juga tidak membantah. Tapi sahabatnya itu tau, Jovadi sudah paham tanpa Gino harus menjelaskan apa-apa, karena perasaan serupa kini juga mulai dirasakan Jovadi.
Saat Gino menanyakan hal yang sama, Jovadi tidak lantas menceritakan semuanya yang dia rasakan selama tiga minggu belakangan ini. Dia tidak akan menjelaskan bagaimana proses shooting bersama Miyana ini dengan mudah memperjelas apa yang dia rasakan terhadap perempuan itu. Bukan karena adegan-adegan romantis yang sebelumnya dikhawatirkan Jovadi, bukan pula karena keadaan, jarak dan waktu yang membuat Jovadi dan Miyana setiap hari bertemu dan Jovadi yakin dia memiliki perasaan itu, tapi karena suatu malam Miyana sempat mengaku bahwa semuanya terasa mudah kali ini, termasuk ber-acting, dan Miyana mengatakan semua itu mungkin saja tidak terjadi jika dia tidak bersama Jovadi.
Saat itu sudah tengah malam dan sedang break shooting, beberapa kru dan pemain sedang beristirahat, ada yang tertidur, ada yang hanya duduk-duduk sambil menikmati wedang jahe yang selalu tersedia di lokasi shooting saat malam tiba, dan juga ada Jovadi yang ketiduran di kursi malasnya.