Setelah hampir dua puluh menit sejak pesawat ini lepas landas, Miyana menoleh ke arah Jovadi yang ternyata sudah mulai tertidur pulas. Masih seperti yang lalu-lalu, Jovadi terduduk rapi dengan mata yang tertutup kacamata hitamnya itu, dan Miyana sudah paham kalau memang beginilah gaya Jovadi tidur saat di perjalanan. Namun bedanya kali ini, ada suara dengkuran halus yang samar-samar terdengar.
Miyana tersenyum tipis saat memandangi Jovadi. He must be so tired, setelah selesai shooting langsung cabut untuk ikut pergi bersama Miyana.
“Ini lo lagi nggak becanda kan Miyana!?!” Teriak Iren melalui panggilan telpon.
“Gue dikejar waktu Ren, nggak sempat becanda.” Jawab Miyana santai sambil mengemasi barang-barang yang hendak dibawanya pergi. “Gue beneran nggak ada kerjaan apa-apa kan dua hari ke depan?” Tanya Miyana yang bahkan tidak memerlukan jawaban. Meski dia mengingat schedulenya dengan baik, Miyana tetap perlu konfirmasi ke managernya tentang rencana dadakannya ini.
Iren pun tidak menjawab, ia malah bertanya-tanya bingung. Miyana bahkan tidak benar-benar mendengarkan apa saja yang sudah Iren tanyakan, she put the call on speaker, jadi Miyana bisa sambil bersiap-siap sebelum pergi ke bandara.
“No, this is just too ridiculous that you really wanna come, and it’s so unbelieveable that he is the one you wanna come with! Ini beneran lo pergi bareng Jovadi? Dan dia mau? Ohh my God , what did I miss?”
Miyana tersenyum mendengar celotehan Iren. Dia meraih handphonenya, menon-aktifkan speaker sebelum menanggapi kata-kata Iren.
“Ohh you don’t miss anything Ren, gue iseng ngajak dia dan dia mau, I guess he needs a short getaway after the long days of work, right?”
Butuh pertimbangan yang matang memang bagi Miyana untuk akhirnya memutuskan pilihannya pada malam ini. Ia sudah dengan segala upayanya untuk menghindari stress atau bahkan depresi setelah ditinggal Firga pergi. Meski nyatanya tidak perlu sampai berlarut-larut, perasaan-perasaan nggak enak yang dia alami sempat membuatnya merasa takut. Sudah terlalu terlambat untuk takut kehilangan, kini Miyana takut jika selamanya tidak mampu merelakan.
Menurut Grace Larson, seorang peneliti dari Northwestern University yang berkonsentrasi di bidang psikologi relasi, dampak negatif dari putus—untuk case Miyana dan Firga, mungkin bisa dibilang dampak negatif dari berpisah—salah satunya adalah disorientasi arah hidup setelah tidak ada pasangan. Hubungan yang telah dijalin dalam jangka waktu panjang, sedikit banyak akan mengubah diri seseorang, termasuk identitas dan aktivitasnya. Salah satu contohnya adalah saat Firga yang sedang ‘berhenti’ membuat kopi sejak tau Miyana sebenarnya tidak pernah menyukai kopi, bahkan kopi buatannya sendiri. Atau saat Miyana berniat untuk tidak berkomunikasi dan tidak akan menemui Firga lagi demi menjaga perasaannya sendiri.
Semua hal-hal yang berubah di antara mereka; tidak lagi saling bertukar kabar, no deep talk di ujung malam, tidak ada lagi adegan menunggu dan ditunggu di apartment Miyana, dan banyak hal lainnya yang tidak mereka lakukan lagi semenjak berpisah itu sudah cukup membuat Miyana tersiksa. Pelan-pelan Miyana paham kalau dia akan menerima jika semuanya berubah, tapi yang tidak ingin ia ubah dari dulu sampai kapan itu, adalah hubungan baiknya dengan Firga.
Ketika Iren menyampaikan kabar pernikahan Firga & Puteri melalui selembar undangan, Miyana merasakan hal itu sebagai tambahan beban dalam pikiran. Ada dua kemungkinan reaksi yang ditunjukkan seseorang saat mengetahui ‘mantan’ akan menikah. Menghadapinya (fight) dengan menerima apapun yang terjadi dan bagaimanapun yang akan dirasakan nanti, atau justru malah melarikan diri (flight) untuk sementara waktu.
Dan seperti kata Iren, it’s so ridiculous that Miyana is now on a flight to fight, memaksakan diri serta menguatkan hati untuk bisa memenuhi undangan pernikahan Firga.
“Jo, lo pernah ke Jogja?” Miyana memulai percakapan sambil membereskan barang-barang mereka yang berserakan di lokasi shooting.
Hari itu shooting untuk episode terakhir dari series yang mereka mainkan. Lebih cepat dari yang sudah diprediksi karena ternyata semua proses shooting lancar dan di sore hari itu sudah selesai. Setelah melakukan selebrasi kecil-kecilan dengan cast and crew, malam itu satu persatu dari mereka mulai meninggalkan lokasi.
“Pernah, dulu.” Jovadi menoleh bingung ke Miyana dan menunggu kelanjutan dan maksud dari pertanyaannya.
“Liburan?” Tanya Miyana lagi.
Jovadi menggeleng. “Kerja. Tapi sempat jalan-jalan ke Prambanan sih.”
“Kalo gue ajak ke Jogja lagi, mau nggak? Ke kampung halaman gue.
Jovadi mengernyitkan dahi. “Boleh aja sih. Kapan?”
“Sekarang.” Ujar Miyana tanpa ragu dan Jovadi hanya bisa melongo merespon jawaban Miyana itu.
Miyana tersenyum melihat wajah bingung Jovadi. “Temen gue married, besok itu resepsinya. Gue pengen datang dan kalo lo mau, gue pengen lo jadi plus one gue. Karena ternyata proses shooting kita lebih cepat dari yang diprediksi, jadi gue berasumsi kalau lo mungkin juga lagi kosong buat dua hari ke depan.” Jelas Miyana untuk melenyapkan ekspresi bingung Jovadi.
“Tapi kalau lo nggak bisa, atau nggak mau, ya nggak papa juga.” Ujar Miyana sebelum Jovadi merespon apa-apa.
Ajakan Miyana ini termasuk hal dadakan yang cukup mengejutkan sih, ngajakin ke Jogja kayak ngajakin jajan McD, gampang banget.
Jovadi tersenyum. Semenjak ciuman pertama mereka—well, Miyana yang ingin menganggapnya begitu—mereka pun jadi semakin dekat, saling mengusahakan hal-hal yang mungkin bisa menyenangkan satu sama lain, dan sudah tidak enggan lagi untuk saling ‘merepotkan’.
“Transportasi, akomodasi dan jajan gue selama dua hari dibayarin kan?” Tanya Jovadi sambil mengerling jahil.
Miyana gantian tersenyum. Dia tahu Jovadi hanya bercanda, tapi jikapun tidak, Miyana juga tidak akan keberatan dengan permintaannya itu.
“All is on me.” Ujar Miyana tegas.
Jovadi mengangguk dan tersenyum puas. “Okay, count me in!” Ucapnya sambil menyandang tas ranselnya, bersiap untuk pergi.
Akhirnya memang akan selalu gampang seperti jajan di McD. Jika dirasa mudah tanpa sedikitpun membebani, Jovadi yakin kalau hubungannya dengan Miyana ini sudah benar, it could be the finest relationship ever. Bodo amat lah kalau harus sering-sering jadi cowo gampangan buat Miyana.
“Okay, kita balik ke rumah masing-masing, get our stuffs dan gue bakal beli tiket on my way to the apartment. Nanti gue kabarin lo kita flight jam berapa, dan langsung ketemu di bandara aja.”
Jovadi mengangguk setuju. “Jangan lupa bawa bantal leher.” Ujarnya mengingatkan.
Miyana mencoba memejamkan matanya setelah memakai bantal leher yang langsung dia cari setibanya ia di kamar apartmentnya tadi. Mumpung masih ingat, memang harus buru-buru dicari, ia tak ingin menyesal lagi karena selalu iri ngeliat orang-orang di cabin pesawat pada bisa terlelap sementara Miyana terkadang cuma bisa merem doang itu pun ditambah sakit leher yang kemudian datang. Namun kali ini Miyana berhasil. Didukung oleh rasa-rasa lelah yang sebenarnya biasa aja, dia sukses tertidur hingga pesawat mereka mendarat di Yogya.
“Beneran nih lo nggak mau nginep sini aja? You can sleep in my brother’s room.”
Sudah hampir jam setengah dua belas malam saat mereka tiba di rumah Ayah Miyana di kawasan Kaliurang. Meski Jovadi menyempatkan diri untuk menyambung tidurnya di perjalanan mereka dari Bandara ke rumah Miyana, namun ia tetap membawakan koper Miyana sampai Mbok Rum, ART di rumah itu, dengan sopan memintanya dari tangan Jovadi untuk dibawa masuk.
“Nggak usah deh, nggak enak gue, kasian juga adek lo udah nyenyak-nyenyak tidur malah dibangunin terus disuruh pindah karena kamarnya harus dipinjem sama orang yang bahkan nggak dia kenal.”
“Yah, padahal ini salah satu cara gue untuk menghemat budget supaya nggak ngebayarin kamar hotel lo.”
Jovadi tertawa kecil. “Soal gue yang tadi minta bayarin tuh cuma bercanda Miyana, ntar tiket pulangnya gue yang purchase aja ya, gantian.”
“Gue juga bercanda kali Jo, maksud gue kan ini udah malem banget, ya lo nginep sini aja. Ribet kan kalo mau nyari-nyari hotel lagi.”
“Ohh, it’s okay. Gue udah minta tolong ke Henry buat booking Hotel. Tadi waktu landing dia udah kirim alamat hotel yang dia pilihkan.”
Miyana mengangguk. “Di mana?”
Jovadi mengeluarkan ponselnya dari saku celana. “Belum gue liat juga sih,” Lalu ia membuka pesan WhatsApp dari Henry yang sudah mengirimkan nama dan alamat hotel beserta bukti pembayaran. Ia juga menanyakan hal lain yang sebenarnya juga tidak bisa dijawab langsung oleh Jovadi ketika ia membaca pesan itu. “Lo beneran ke Jogja berdua sama Miyana doang? Ngapain?”
Jovadi sempat bergumam dalam hati. “Iya ya, ngapain juga ya gue sama Miyana sebenarnya?”
“Ohh, at K hotel Mi.” Jawab Jovadi.
“Eh itu deket banget sih dari sini. Booking buat malam ini aja kan? Besoknya nginep sini aja. Sekalian kan gue mau ngenalin lo ke Ayah dan adek gue.”
Jovadi tersenyum malu-malu. “Dikenalin sih gue nggak nolak ya, tapi kalo buat nginep nanti-nanti aja deh. Lagian kalo nginep di rumah bokap lo, gue nggak mau ah di kamar adek lo, maunya sekamar dan seranjang sama lo.” Jovadi mengedipkan sebelah matanya menirukan adegan yang sering dia lakukan di depan kamera. “And I guess, someday I will.” Ujarnya penuh percaya diri.
Miyana sebisa mungkin menahan diri untuk tidak tergelak melihat tingkah Jovadi. Ia hanya tertawa kecil. “Okay, we’ll see.”
Move on itu tidak akan pernah terasa mudah bagi siapa pun yang menjalani dan mengusahakannya. Setidaknya Jovadi masih setuju dengan itu. Miyana sempat bilang ke Jovadi bahwa sekarang ini dia sedang berada di fase tersebut. Bagaimanapun pesona Jovadi tidak akan mungkin segampang dan seajaib itu bisa langsung mengalihkan kenangan asmara dan menghapus perasaan spesial Miyana yang pernah ada untuk Firga. Tidak akan pernah mungkin rasa yang dibangun bertahun bisa lenyap dalam sebulan. Jadi berapapun waktu yang diperlukan Miyana, setahun, dua tahun, lima tahun, whenever it takes, if they meant to be together, they will be. Tetapi justru saat Jovadi berpikir begitu, ada ragu-ragu yang sempat datang lagi. Bisa saja benar kalau sekarang ini dia sudah jadi salah satu yang istimewa di hati Miyana. Entah dibiarkan menetap selamanya atau hanya diizinkan singgah sebentar saja, Jovadi hanya takut kalau dia salah ruang. Dan akan Ironis sekali bila dia terjebak friendzone di saat dia sudah benar-benar sayang.