Jovadi sedang menenggak habis air minumnya saat Henry tiba-tiba menelponnya di malam ia baru tiba di K Hotel Yogyakarta. Jovadi mengabaikan panggilan pertama. Mungkin Henry hanya ingin memastikan kalau dirinya berhasil check-in Hotel dengan mudah setelah pesan WhatsApp dari Henry belum sempat dia balas, lebih tepatnya, belum sempat memikirkan harus membalas apa.
“Kenapa Hen?” Tanya Jovadi saat menelpon balik.
“Aman kan? Bisa check-in kan?”
“Udah kok. Thanks ya.”
“No prob. Eh, bentar.” Ujar Henry seolah-olah tau kalau Jovadi hendak menutup telpon. “Sebenernya gue nggak mau ikut campur urusan asmara lo sih, tapi seperti yang udah gue pertanyakan tadi, lo ngapain ke Yogya berdua doang sama Miyana?
Jovadi tau kalau Henry akan menanyakan hal ini lagi, dan ia juga mengerti maksud Henry dengan kata ‘ngapain’ itu bukan sekadar ‘melakukan apa’ tapi ‘buat apa? demi apa? dan untuk alasan apa?’.
“Tadinya gue pikir gue tau Hen. Tapi setelah lo nanya, I don’t know.”
Mereka sama-sama terdiam beberapa saat.
“Iren kebingungan ngeliat Miyana yang mendadak pergi ke Yogya bareng lo, jadi dia tadi sempat telpon gue. Nothing much important dari percakapan kami, but, just for your information, wedding party yang akan lo hadiri besok sama Miyana itu acara nikahan mantannya Bro. That’s why I ask, lo mau ngapain sampe sebegininya?”
Jovadi terdiam. Tertegun. Ia menghela napas sekali lagi.
“I know what I’m doing Hen. Thanks by the way.”
Malam ini di parkiran K Hotel, Jovadi tiba-tiba teringat lagi dengan pertanyaan Henry itu, ‘lo mau ngapain?’. Bukan. Bukan karena Jovadi tidak suka kalau Miyana tidak menceritakan soal Firga, bukan karena ia khawatir sampai nanti entah kapan, Miyana nggak bisa move on dari Firga, atau bukan juga karena Jovadi takut kalau ia mungkin hanya ‘dimanfaatkan’. Justru alasan yang terakhir itu adalah yang paling tidak mungkin dilakukan Miyana. Tapi dengan itu semua dia bisa apa? Mau jadi orang ‘sakti’ yang bisa menyembuhkan patah hati? Mana mungkin bisa. Dan kalaupun bisa Jovadi nggak akan pernah memilih cara itu untuk menunjukkan cintanya ke Miyana.
Miyana memundurkan tubuhnya dan ikut bersandar di kursi mobil. Dia tidak tau harus bagaimana dan mulai dari mana untuk memberi jawaban dan penjelasan dari pertanyaan Jovadi. ‘So you call it a kiss?’ He knows, Jovadi selalu tau mana ciuman sandiwara, mana ciuman penuh gairah, mana ciuman penuh makna dan mana ciuman pura-pura.
“Mi, gue udah pernah cerita belum kenapa gue suka air putih?” Tanya Jovadi memecah keheningan di antara mereka. Miyana hanya menoleh, memberikan tatapan kalau dia tidak tau.
“Karena air nggak butuh apa-apa Mi, water is always enough. Untuk bisa dinikmati, air nggak perlu ditambah gula, bubuk kopi, serbuk teh, syrup atau apapun. Dia aja udah cukup.”
Miyana masih tertunduk diam, mendengarkan.
“Gue selalu ingin menjadi air itu Mi, bisa merasa cukup tanpa perlu apa-apa, bisa bahagia tanpa harus bergantung ke siapa-siapa.”