Dari ufuk timur secercah cahaya menyembul pagi, luas langit yang gelap terbias oleh paparan mentari. Pohon-pohon yang menghitam kini terlihat berwarna hijau nan segar, dengan dedaunan yang masih berembun. Suara orkerstra ayam yang berkokok menambah riuhnya menyambut pagi. Dan saatnya manusia memulai kehidupannya. Seperti biasa, kegiatan Wira saat pagi adalah sekolah. Yah, Wira yang kini menginjak masa SMA dimana orang-orang bilang masa ini adalah masa paling indah. Entah tentang pembelajaran, pertemanan atau kisah-kisah percintaannya.
Tepat pukul enam pagi Wira sudah mulai siap-siap untuk berangkat ke sekolah dengan baju putih berlambang OSIS di saku, dan lambang sekolahannya di sisi tangan sebelah kanan, serta tak luput bendara merah putih terpampang percis di atas nama Wira Sastra Lingga. Tak luput juga celana khas berwana abu-abu yang harus dipakainya. Kini Wira sudah mulai remaja, terbukti wajahnya yang mulai terlihat lelaki sekali dengan alis tebal dan kumis tipis yang melintang di bawah hidungnya. Kadang wira di juluki pria manis berkumis tipis, memang tidak bisa dipungkiri lagi wajah Wira yang bisa dikatakan lumayan untuk masuk setandar laki-laki tampan, menurut ibunya.
Wira sedang berhadapan dengan lemari kayu yang berkaca tak lupa sebelum berangkat ia rapihkan terlebih dahulu rambut kelimis yang diberi minyak rambut agar terlihat segar, dan minyak wangi yang ia semprotkan di setiap sudut tubuhnya.
Dengan motor jadul milik bapanya ia melaju menembus jalanan menuju sekolah. Menerabas sudut-sudut kota dengan riuh khasnya, tak lupa oleh-oleh dari jalanan apalagi kalau bukan bau asap kendaraan.
Sembari mengendarai motor Wira menyanyikan lagu-lagu kesukaannya agar menghilangkan rasa jenuh di jalanan. Menyanyi di jalan adalah kebiasaannya, karena menurutnya semua manusia adalah artis untuk dirinya sendiri. Merasa suara paling bagus, merasa paling cantik atau tampan, merasa paling keren ketimbang orang lain. Baginya hal itu wajar saja untuk menumbuhkan rasa percaya diri, namun jangan berlebihan karena terkadang realitas juga manusiawi.
Bernyanyi adalah salah satunya, Wira merasa dirinyalah sang-bintang di jalanan dengan bernyanyi sesuka hati, walaupun kadang ada saja pengendara lain yang menengok ke arahnya kala mendengar suaranya saat bernyanyi. Namun, peduli apa mereka Wira selalu menanggapinya santai, anggap saja fans.
Jarak rumah Wira dengan sekolah lumayan jauh jika menggunakan motor, kalo jalan ya cape juga. Setelah sesampainya di gang sekolah ia menyapa teman teman dengan khas jenakanya, sambil mengendarai motor tua ia melewati teman-teman yang berjalan menuju gerbang sekolah.
“Selamat pagi orang-orang yang kurang kasih sayang” sapanya dengan jenaka.
Wira memang dikenal sebagai orang yang jenaka di sekolahnya. Kerap membuat kehebohan di sekolah dengan tingkahnya yang mengundang tawa, dan sajak sajak cintanya yang kerap meluluh lantakkan hati teman-teman wanitanya.
Kini kuda besinya ia perkirkan di tempat paling sudut parkiran sekolah tepat di bawah pohon yang lumayan rindang. Menurutnya, setiap sesuatu hal, baik itu benda mati atau hidup harus diberi perhatian, seperti motor tuanya ini yang tidak ingin motornya kepanasan atau kehujanan. Mangkanya tempat paling pojok adalah parkiran khusus Wira dan semua temannya tahu akan hal itu.
Tepat pukul tujuh pagi bel sekolah mulai berbunyi menandakan waktu kegiatan akan dimulai. Biasanya jam masuk mulai pukul delapan pagi, hanya saja ini hari senin dan kegiatan sebelum memulai aktivitas belajar adalah upacara bendera. Mangkanya Wira bangun lebih pagi dari biasanya karena takut terlambat seperti biasa. Namanya juga anak laki-laki kalo bangun kesiangan dan terlambat sekolah ya wajar menurutnya. Sampai guru BP yang selalu menjadi momok paling menakutkan digerbang sudah geram dan pusing memberikan hukuman apalagi agar Wira kapok datang terlambat.
“Wah pasti bakal ujan nih nanti, soalya gak datang terlambat” tukas Rangga sahabat Wira dengan senyum jahatnya tanpa menoleh ke arah wira yang tiba-tiba di sampingnnya.
“Sialan!” balas Wira sembari memukul menyikut Rangga dengan sikunya.
Namanya Rangga Aditya Duncan, mereka sudah berteman sejak duduk di bangku SMP. Meski awalnya mereka memutuskan untuk melanjutkan di sekolah dipilihan mereka masing-masing, namun semesta menakdirkan mereka bersatu kembali di sekolah dan kelas yang sama. Karena Rangga ikut dengan orang tuanya, bapanya yang seorang abdi negara harus siap di pindah tugaskan kemana saja. Hingga, bertemulah mereka kembali.