“Desir ombak menghantam karang
Daun daun gugur berserakan tak terarah
Runcing sang bambu hanya sebuah isapan jempol
Sang pahlawan hanya sebuah dongen dongen sebelum tidur
Batu batu nisan hanya sebuah simbol mata, tidak dengan hati.
Apa kabar negeri ini...
Negeri yang bebas, tanpa terimakasih
Wahai orang orang tinggi, jagalah suara kami
Kalian yang berjalan menuju puncak
Dengan tangga dari tumpukan mayat.”
Dengan suara lantang Wira membacakan puisinya. Ia terlihat gagah dan perkasa laksana sorak-sorai panglima perang. Semua teman dan gurunya kagum melihat aksi Wira. Ada yang terdiam, tertunduk untuk orang orang yang mengetahui arti di dalam puisi Wira. Termasuk yang mengagumi aksi Wira adalah Lia. Sedari awal Lia sangat menyimak kata demi kata yang dilantangkan oleh Wira. Kepalnya terus memutar dan menganalisis setiap makna dari kata-kata Wira.
Sekarang Wira turun dari mimbar dan langsung berjalan kembali ke barisan petugas upacara. Semua mata memandang Wira dengan kagum, namun berbeda dengan teman teman kelas Wira yang masih tertawa kecil melihat Wira membacakan puisi. Namun, di dalam hati mereka pasti menyimpan rasa bangga untuk Wira.
Jam menunjukkan angka delapan pagi, saatnya bel sekolah berbunyi kembali menandakan masuk jam pelajaran setelah istirahat dan persiapan lima belas menit selepas upacara tadi. Wira memasuki Kelas bersama sahabatnya Rangga. Di perjalanan menuju kelas yang melewati kelas-kleas lain yang saling berhadapan membentuk sebuah lorong, Wira tidak sengaja bertemu dengan Lia. Ada lekukan manis yang Lia ciptakan di bibirnya, dan Wira menyerang balik.
“Puisi kamu bagus.” kata kata pembuka yang membuat jantung Wira seakan berhenti sepersekian detik.
“Oh iya, terimakasih aku anggap itu sebuah pujian.” singkatnya dengan mata berbinar bahagia.
“Jikalau boleh, aku ingin tahu maknanya.” tukas Lia serius menatap mata Wira dengan fokus.
Tentu hal tersebut membuat Wira mati kutu. Terlihat dari cara Wira yang celingukan dengan menggaruk kepala yang tidak gatal. Sialnya Rangga yang mengetahui sebelum adegan Wira dan Lia bertemu ia berjalan lebih cepat dan meninggalkan Wira.
“Terkadang beberapa orang mengatakan suatu hal tanpa harus ada alasan.”
“Tapi tidak dengan puisimu, aku yakin ada pesan yang dalam yang ingin disampaikan di sana.” lanjutnya dengan bergumam “Sebenernya aku tahu, hanya saja ingin tahu dari penulisnya langsung. Karena cara pandang orang pasti berbeda bukan.” Lia tersenyum.
“Jika waktu menakdirkan kita bertemu lagi pasti akan aku ceritakan.”
Lia tertawa “Lebay, pasti kita ketemulah orang kita satu sekolah.” dan sekali lagi tawa Lia memporak porandakan hati Wira.
Entah sejak kapan Wira mulai menaruh hati kepada Lia. Setahu Wira perasaan padanya biasa-biasa saja, pada awalnya.
Terkadang perasaan lebih muncul dari perasaan yang kita anggap biasa saja pada awalnya, lalu ia tumbuh dan berkembang di segumpal darah bernama hati, menjelma menjadi sebuah perasaan lebih untuk seseorang, manusia di bumi biasa menyebutnya itu cinta.
Yang Wira tahu ia bernama Alinea, teman-temannya sering memanggilnya Lia termasuk Wira. Sosok Lia yang humble dan periang, mudah bergaul, perhatian kepada teman-temannya. Mungkin itu juga menjadi Wira sarah kaprah karena mungkin Wira menggap perhatian Lia adalah teruntuknya. Memang orang-orang di bumi selalu lucu, menggangap hal biasa menjadi luar biasa dalam imajinasinya.