“Ahhhhhhh!!” Lia berteriak, mendengar teriakan Lia, Wira sepotan berteriak. Berteriaklah mereka berdua.
“Kamu siapa!” tanya Lia dengan napas yang terengah-engah.
“Ada juga aku yang tanya, kamu siapa?” Wira membalas dengan nada keheranan “Ehhh tunggu, kamu bukan hantukan.”
“Enak ajah!”
“Emang sih, lagian mana ada hantu cantik kaya kamu” tukas Wira sedikit tertawa kecil.
“Gak lucu!” Lia memasang mimik kesal dan langsung membuang mukanya.
“Lagian malam-malam gini di hutan, pake baju putih rambutnya panjang. Orang normal mana yang gak takut?”
Wira mulai mengajak untuk menetralkan suasana kembali.
“Kamu Lia bukan. Alinea?”
“Iyah, aku Lia. Kamu siapa?”
“Aku ditugaskan Pak Danang untuk cari kamu setelah teman-teman kamu lapor kalo kamu hilang. Sebentar, aku mau ngabarin Pak Danang dulu kalo kamu sudah aku temuin”
“Cek..monitor..masuk.” Wira mulai memberi kode komuikasi kepada Pak Danang dengan menggunakan HT miliknya. Wira yang sedang menggunakan HT yang di genggang tangan kanannya dan didekatkan ke mulut seperti intel yang sedang memberikan informasi kepada pusat.
“Iya masuk.” jawaban Pak Danang lewat HT yang entah berantah posisinya.
“Lia sudah ditemukan Pak. Jangan khawatir ia baik-baik saja. Kalo gitu kita kembali lagi ke perkemahan pak. Kita bertemu di sana. Ganti.” Wira menyampaikan informasi kepada Pak Danang.
“Ok siap, Terimakasih kita kembali ke perkemahan.” Setelah pesan dijawab terdengar suara bip-bip-bip yang menandakan komunikasi sudah terputus.
Wira mengajak Lia untuk kembali ke perkemahan. Melihat Lia yang sudah lemas mungkin karena kelehan dan ketakutan sendiri di hutan, akhirnya Wira memegangi Lia dengan tangan kanannya dan memegang pundak Lia dengan tangan kirinya, membantu Lia yang berjalannya masih tertatih-tatih.
Kini mereka berdua sedang berusaha keluar dari tumbuhan sepinggang yang menelan mereka dari permukaan. Menerabas lurus dengan sedikit cahaya yang menerangi jalan mereka. Lia yang mulai pulih sudah bisa berjalan tanpa bantuan Wira, namun tetap tangannya tidak ingin melepas. Mungkin dia takut ditinggal lagi.
Rembulan malam itu sedang cantik-cantiknya, teringat tadi yang redup terculik awan kini telah kembali dan siap menyinari bumi lagi. Bulat terang nan-redup menggelantung di atap langit, menambah romantisnya perjalanan malam mereka.
Tidak ada yang berani memulai membuka pembicaraan, mulut mereka seperti saling mengunci satu sama lain, perihal diri mereka masing-masing atau tentang kejadian ini. Hanya suara khas hutanlah yang selalu terdengar ditelinga mereka. Semakin jauh berjalan rasanya mereka harus menentukan kata sepakat, melawan kekuasan ego dalam hati, tidak peduli harus siapa dulu yang memulai pecakapan. Mengetahui sifat perempuan yang harus dimengerti, akhirnya Wira berhasil mengalahkan egonya.
“Jadi, kenapa kamu bisa nyasar gini?” tanya Wira pelan tanpa menengok kepada Lia yang tepat di sebelah kirinya yang tetap menggandeng tangannya.
Wira menimpal ucapannya “Masa ke toilet sampe sejauh ini?”
Lia menghela napas panjang lalu membuangnya sekaligus. Terlihat ia enggan menceritakan yang sebenarya kepada Wira. Namun, disisi lain Wiralah yang sudah menyelamatkannya mau tidak mau mungkin dengan bercerita sebagai ungkapan terimakasinya.
“Aku mau cerita, tapi janji kamu jangan bilang ke Pak Danang.” Lia mulai membuka suaranya pelan.
“Iya”
“Sebenernya aku tidak ingin ke toilet, melainkan ke puncak gunung. Katanya puncak gunung ini itu bagus apa lagi malam hari kita bisa lihat hamparan bintang di angkasa, dan hamparan bintang di daratan dari kilauan lampu kota.”
“Ouhhh”