Hari silih berganti di bumi, poros matahari yang mekelilingi membuat hidup semakin berarti. Manusia diciptakan beserta hati lengkap denga perasaan. Karena itu adalah anugerah dari Sang Maha Cinta. Semesta menakdirkan seseorang untuk berpasang-pasang, tentang pertemuan, kisah percintaan, hingga membangun kapalnya sendiri untuk berlabuh di lautan badai.
Perihal asmara siapa yang ingin mengelak, tentang seseorang yang menjadi sepasang meski berawal dari kata tidak sengaja. Manusia hakikatnya memilih, tapi apa daya hati punya kuasa atas segalanya. Ketika ia mulai jatuh, maka lubang itu yang akan diselami.
Seperti Wira, iya jatuh cinta yang bukan pada tempatnya; menurut pandangan orang-orang. Ia jatuh pada hati temannya sendiri. Mungkin di gunung harusnya ia jatuh ke jurang, tapi Wira malah jatuh ke hati Lia, begitulah ungkapnya.
Hari-hari yang ia lewati setelah kejadian waktu itu Wira semakin semangat bersekolah. Entah memang perubahan dalam dirinya atau ada sesuatu yang mendorongnya. Layaknya hukum newton ‘benda tidak akan bergerak kecuali ada gaya yang memaksanya bergerak, hati tidak akan bergerak kecuali ada cinta yang memaksanya bergerak’
“Selamat pagi juragan.” Rangga yang menyapa Wira dengan melemparkan senyum di parkiran sekolah.
“Ihhh, ogah bangat di ucapin selamat pagi sama penunggu pohon ini.” Wira dengan ekspresi muka seperti melihat hal paling menjijikkan.
“Sembarangan kalo ngomong, itu mulut ga makan bangku sekolah apa!”
“Biasa ajah kali, jangan dianggap becanda. Hahaha” Rangga sedang manafsirkan ucapan Wira, jika bukan becanda berarti ia serius.
Setelahnya Wira tertawa lepas. Rangga yang sudah lama mengenal Wira tentu biasa saja dengan tabiat sahabatnya itu.
Kini mereka menyusuri lorong sekolah menuju kelasnya. Berperang dengan buku dan tugas-tugas. Tak lupa drama-drama khas anak SMA selalu menyelimuti hari mereka.
Hidup itu jangan banyakin drama, tapi kalo engga ada drama kaya enggak hidup, kaya ada yang kurang tapi apa yah.
Jam menunjukkan setangah bulat, saatnya para kawanan keluar dari sangkarnya. Mengendus, mengincar, dan menerkam masangnya yang sudah dihidangkan di dalam lemari kaca. Ketika jam istirahat inilah waktu yang dinantikan oleh Wira. Bukan tanpa alasan, karena ia bisa beretemu dengan Lia. Lia yang berbeda kelas membuatnya tidak bisa setiap saat mencuri kecantikan Lia. Jika ingin bertemu dengan Lia saat berangkat sekolah, maka Wira harus bangun dini hari menurutnya, karena Lia adalah anak super rajin yang sering kali datang lebih awal. Jikalau ingin bertemu saat pulang, mungkin Wira harus menunggu hingga matahari lelah menyinari bumi. Dan waktu inilah yang bisa ia manfaatkan; jam istirahat.
Di meja yang dibuat memanjang dengan bangku yang mengikuti panjang mejanya, Wira duduk bersama Rangga. Menikmati semangkuk bola-bola sapi. Dengan segelas es teh sebagai peredam dahaga rindu dalam hati. Ia memotong bola-bola itu sebelum dilahapnya dengan sendok di tangan kanan bersinergi dengan kinerja garpu di tangan kiri. Sesekali tatapannya tidak mengarah ke mangkuk, melainkan ke arah samping kirinya. Ya, pintu yang berukuran kurang lebih dua meter yang menjadi gerbang pertemuan antara dua hati yang terpisah oleh sekat sekolah. Sebuah pintu yang menuju ke dalam kantin.
Wira memicingkan matanya tajam bak seekor buaya sedang mengincar mangsa. Rangga yang duduk berhadapan melihat Wira yang makan tanpa melihat ke mangkuknya, membuat Rangga penasaran dan mengikuti apa yang dilakukan Wira melihat pintu. Melihat hal yang janggal Rangga melihat wajah Wira yang masih dengan fokusnya, dan melihat kembali ke pintu dan terus terulang.
“Wir, kamu liat apaan sih?” tanya Rangga masih dengan keheranan.
“Udah liat ajah nanti.” tukas Wira dengan masih fokus dengan pintunya.
Tak lama berselang dari obrolan, manusia berbentuk wanita muncul dari balik pintu. Mereka berjalan secara bersamaan. Tiga orang wanita anggap saja geng, emang seperti itulah mereka yang tidak bisa terpisahkan. Miya, Amanda, dan orang yang Wira tunggu sedari tadi, Lia. Meraka adalah sahabat Lia yang senantiasa bersama Lia, dan Lia adalah pujaan hati Wira sebut saja begitu.
Ada semu merah di pipi Wira tanda bahagia, karena bisa melihat Lia hari ini. Padahal dulu Lia sekelas dengan Wira, semenjak mereka naik tingkat jadi dipisahlah kelas mereka. Beruntung sahabatnya yang masih satu kelas. Karena itulah mereka sudah berjarak, namun tidak untuk perasaan Wira yang masih belum beranjak.
“Yahhh, kirain apaan. Ternyata Lia.” Rangga yang merasa terjebak oleh tingkah Wira, memalingkan wajah kecewa sembari membuang napas sekaligus.
“Ya, emang apa lagi sih, Ga.” Wira membalas singkat dengan senyum ke arah Rangga di susul dengan mengernyit dahinya berkali kali.
Dari kejauhan Wira mengikuti arah Lia berjalan, bola matanya tetap fokus mengawasi gerak gerik Lia. Lia yang berjalan, tersenyum, tertawa riang. Semua diabadikan di mata Wira. Bagi Wira kamera yang paling canggih adalah matanya sendir, dan memori yang paling bagus adalah ingatannya sendiri.
Saat menu yang dipesan Lia sudah selesai, mata mereka mencari-cari bangku yang kosong untuk mereka duduki bertiga. Dilihatnya dari sudut ke sudut tetap tidak ada. Hingga, Lia tidak sengaja memergoki mata Wira, dan langsung mengarahnya.