Awan pagi tersipu malu, ia pamit untuk beranjak pergi. Langit yang mulai berpulaskan warna jingga tanda senja telah tiba. Mentari mulai mundur dari tugasnya, perlahan angkat kaki dari atap. Kicau burung bak orkestra menjadi backsound kepergiannya.
Wira yang sedari pagi berkutat dengan tugas baru selesai sore ini, ia terlambat dari jam pulang biasanya. Melihat langit surga yang runtuh ke bumi membuatnya ingin menikmati dengan bermotor. Lalu ia menaiki kuda besinya, menyelah motor dengan kaki kanan untuk dihidupkan; maklum motor tua.
Sejurus kemudian ia mengambil ancang-ancang dan kemudian menarik gasnya perlahan. Melaju, Ia menikmati angin sore yang mengusapi wajahnya.
Dari kejauhan ia melihat seorang perempuan berjalan. Sekolah Wira berada di dalam gang, dan jarak dari sekolah ke jalan raya lumayan cukup jauh jika di tempuh menggunakan kaki.
Ia memicingkan matanya, menerka siapa yang sedang berjalan. Tabiat Wira sering mengajak siapapun yang ingin pulang bersamanya, atau sekedar menumpang sampai ke depan gang sekolah, selanjutnya dengan menaiki angkutan umum. Namun, dari gerak-gerik tubuhnya, dan bentuk perawakannya Wira mengenal siapa orang tersebut, dan ternyata benar, itu Lia.
“Kamu mau pulang? mau aku antar?” Wira berhenti tepat disamping Lia. Berniat memberikan tumpangan kepadanya.
“Engga usah, aku bisa sendiri kok, makasih atas tawarannya.”
Lia menolak secara halus disambut dengan senyum. Itulah Lia murah senyum kepada siapun, termasuk kepada Wira.
“Sampe depan gang ajah, dari pada jalan.” Wira menawari kembali dengan meyakinkan.
“Ya, udah sampe depan ajah ya. Tapi bener nih gak apa-apa?” Lia tertarik namun masih dengan kata segan.
“Iyahh, santai ajah. Anggap ajah aku ojek tapi ganteng. Hehehe...” Wira tertawa kecil dan Lia membalas.
Melesatlah mereka menyusuri jalan yang tidak amat besar, dengan dinding di kedua sisinya. Perlahan menunggangi motor, mereka sampai di ujung gang yang langsung berhadapan dengan jalan raya.
“Udah sampai sini saja, makasih yah Ra.” tukas Lia.
“Iya, sama-sama.” Wira membalas.
Dari salam perpisahan mereka Wira tidak langsung menancap gasnya untuk pamit. Lia yang langsung pergi ke halte untuk menunggu angkutan. Sedangkan Wira, ia masih berakar di tempat tadi.
Melihat Wira yang masih belum beranjak membuat Lia penasaran dan menghampirinya kembali.
“Kamu gak pulang?” tanya Lia penasaran.
“Nanti ajah, nunggu kamu naik angkutan dulu. Dilihat sih sepi soalnya udah kesorean, takutnya gak ada angkutan lagi.”
Wira menjelaskan maksudnya tidak beranjak. Lia tidak membalas sama sekali karena ia di hantui rasa bimbang. Benar kata Wira sedari tadi tidak ada angkutan umum yang melintas.
“Gimana, masih mau nunggu?” Wira mulai menggoda, berharap bentengnya retak lalu runtuh.
Waktu terus turun dari lingkar jam, rasa bimbang terus memeluknya. Lia segan untuk meminta. Mungkin ini yang di maksud perempuan.
Laki-laku harus peka jangan nunggu perempuannya bilang atau minta, mereka harus sadar apa yang mereka pinta atau mereka butuhkan.
Mengingat hal tersebut membuat barisan giginya terlihat, dan tertawa yang tidak lucu.
“Udah, ayo aku anter samper rumah, tenang gratis kok. Tapi kalo dibeliin es teh manis juga ga nolak.” lanjutnya tertawa kecil.
Lia luluh, tidak ada lagi tembok untuk ia bersembunyi. Mau tidak mau ia harus ikut bersama Wira.
“Ya udah aku ikut.” dengan nada segan Lia mengaminkan tawaran Wira.
Wira menarik gasnya...
Terlihat bibirnya berbicara tanpa suara, seperti sedang berkomatkamit mantra. Tapi bukan, ia sedang berterimakasih kepada semesta. Karenanya, hal yang diinginkan bisa teraminkan sekarang. Jikalau tanpa kosnpirasi alam semesta mana ada adegan ini. Pipinya ranum, sunggingnya mulai terlekuk. Tak bisa terelakkan, Wira bahagia.
Dua hati yang sedang utuh itu kemudian menyusuri jalan. Menikmati pelataran senja di atas motor tua. Angin yang mulai terasa mengelus wajah mereka berdua. Dalam hati Wira sedang diadakan pesta keberhasilan, riuhnya terasa. Wira membayangkan ia dengan Lia sedang menaiki kuda putih laksanan Raja dan permaisuri. Ditambah adegan berpelukan, mungkin jantung Wira akan copot seketika.
“Kamu suka senja?” tanya wira membuka gembok pada mulut mereka masing-masing.
Liang menggumam “Suka”
“Alasannya”
“Aku suka senja dimana dia anggun dengan kuning emasnya. Senja membuatku tenang saat di pelatarannya, menikmati saat-saat kepergian yang begitu indah. Senja selalu membuatku belajar tentang arti keiklasan. Mengapa, karena langit akan kehilangan senja ketika dia sedang cantik-cantiknya. Namun langit percaya senja akan kembali lagi kepadanya. Semua hanya perkara waktu hingga senja akan kembali untuk langit.”
Lia menjawab pertanyaan Wira, mungkin lebih tepatnya seperti sedang bercerita. Wira senang mendengar cerita Lia menikmati waktu kebersamaan mereka yang terasa lebih lama, mungkin hal ini tidak akan terjadi lagi.
Entah pikiranmu sedang memikirkan siapa, ataupun hatimu yang sudah terisi oleh nama seseorang. Aku tidak memikirkan hal itu, yang aku pikirkan saat ini, aku hanya ingin menikmati waktu ini berdua. Urusan jodoh gimana Tuhan ajah.
Tanpa disadari oleh Lia, Wira mengubah spion kirinya mengarahkan ke arah wajah Lia. Sedari tadi ada dua hal yang ia fokuskan. Melihat ke jalan dan ke arah spion kiri, ia sedang mencuri-curi pandang. Mendengar dan melihatnya bercerita merasa taman bungan di hatinya sedang bermekaran.
“Kamu juga suka senja?” kini giliran Lia membalas.
“Suka”
“Alasannya” Lia menggoda.
“Ada banyak hal di bumi, dari sekian hal tidak perlu alasan untuk kita suka. Ia akan timbul tidak dengan alasan.” Wira menjelaskan dengan wajah semringah.