Diantara riuhnya orang-orang berbaju putih dengan celana abu-abu, sebuah gedung sekolah masih menjadi destinasi setiap hari. Hiruk pikuk yang dijalani semakin menambah warna-warni hidup. Bau pikiran yang mengepul di kepala akibat pelajaran matematika masih menjadi polemik bagi sebagian siswa. Gaduh, mungkin kata itu yang paling tepat menjadi jargon mereka.
“Cieeeee, yang kemarin pulang bareng.” Rangga membalap Wira dari belakang, sesampainya di telinga Wira ia mengeluarkan kata-kata menggoda. “Gimana, Ra?”
“Gimana apanya?” Wira bertanya balik.
“Ya itu, gimana perasaannya setelah pulang bareng Lia.” Rangga senyum sambil mengernyitkan alisnya berkali-kali.
Rangga yang kemarin kebetulan sedang menepi di jalan matanya tidak sengaja memergoki mereka berdua melewatinya.
“Ahhhh, seperti biasa, ucapan terimakasih dengan lebel temen.”
Rangga tertawa terbahak, memang yang selalu dilakukan oleh Wira selalu menjadi lelucon bagi Rangga.
Rangga selalu berpikir, masih saja ada orang yang bertahan meski ia sudah sadar ia tidak dianggap. Namun berbeda dengan Wira, ia selalu menikmati dan mengaggap ini adalah sebuah proses dari sebuah perjuangan.
“Namanya juga perjuangan, tenang ajah.” Wira membela dirinya.
“Sampai kapan? sampai pohon berbuah duit?” balasnya dengan tawa.
Wira menjawab ketus dengan sembari memukul punggung Rangga. “Sialan!”
Tapi, dalam rautnya tetap saja Wira merasa senang karena kemarin adalah kesempatan yang mungkin tidak bisa ia dapatkan kembali, berboncengan berdua dengan Lia, menunggu hujan perlahan pamit, dan memegang tangannya. Sungguh, itu menjadi kesan terindah untuk Wira. Wira tidak bisa habis pikir semesta sebaik itu kepadanya, menghadirkan adegan-adegan yang hanya bisa ia lakukan dalam imajinasinya disaat tidak ada guru yang masuk ke kelas untuk mengajar.
Dalam perangainya apakah hal tersebut akan hadir kembali.
“Semesta yang baik hati, ketemuin aku lagi dong.” Permintaannya dalam hati.
Bayang-bayang Lia masih terekam jelas di dalam benak Wira, hingga film dari ingatan yang sedang ia putar tiba-tiba semerawut ketika Rangga mengagetkannya.
“Woyy, ada orang gak di dalam.” Rangga mengeluarkan suara yang lantang. Wira tergeragap dari lamunannya.
Sial, Rangga memang selalu menjadi pengacau di saat Wira sedang menikmati rasa halunya bersama Lia di dalam dunia khayal.
Jam menunjukkan keangka delapan, saatnya bel masuk sekolah dibunyikan. Kedua sahabat itu masih berjalan di antara deretan kelas yang mereka lalui. Tidak seperti siswa pada umumnya yang bergegas masuk, mereka memilih menikmati langkahnya yang teratur.
Sesampainya dekat samping kelas Wira mengurungkan niatnya untuk masuk dan memilih untuk naik. Padahal kelas Wira berada di bawah. Ya, Lia. Kelas Lia berada di lantai dua. Jika Lia turun untuk keperluan lain, ia pasti melewati kelas Wira dan moment itu yang selalu Wira tunggu. Menantikan bidadari terlihat di jendela kelas.
“Ga, ke atas yuk?” Wira menghasut Rangga untuk ikut bersamanya ke atas.
“Ngapain?” Rangga bertanya penasaran. Sejurus kemudian ia sedar setelah melihat Wira seyum yang penuh dengan maksud. “Pasti mau ngajak ke kelas Lia, iya kan?”
Tidak ada balasn dari Wira, yang ada ketawa kecilnya keluar sembari menggaruk kepala yang tidak gatal. Meski merasa keberatan Rangga tetap tidak bisa menolak ajakan Wira, karena Wira pu tidak pernah menolak ajakannya. Dan pada akhirnya mereka mengurungkan niatnya untuk masuk kelas dan mulai ke kelas atas.
Melewati deretan anak tangga yang tersusun rapi ke atas, lorong tangga yang berukuran kurang lebih tiga meter ini selalu ramai menjadi tempat nongkrong pada jam istirahat, namun sekarang sepi jadi leluasa untuk dilewati.
Rangga mengikuti Wira yang sangat bersemangat untuk bertemu dengan Lia, hingga menaiki anak tangga pun ia sampai berlari kecil.
“Dasar Wira untuk urusan hati ia selalu semangat berbeda dengan pelajaran.” Tukas Rangga dengan ketus.
Tepat sebelah kiri di ujung tangga kelas Lia berada. Wira yang sedari tadi di depan menghentikan langkahnya, Rangga yang fokus menaiki deretan anak tangga tidak melihat ke arah atas, Wira yang sudah berhenti dan Rangga yang masih menyusulnya dengan cepat akhirnya menabrak Wira dari belakang yang ternyata tidak sadar sudah berhenti.
Brukkkk....
Mereka terjatuh tepat di depan mulut pintu, Lia yang mendengar suara terjatuh langsung melihat sumber suara dan mereka berdua tertangkap basah oleh mata Lia.
Lia keheranan kenapa mereka berdua ada di kelasnya ketika kelas sudah berlangsung. Padahal sudah ada guru yang sedang mengajar.
“Aduhhh, kenapa aku di tabrak?”
Wira terjatuh dan terjebak tubuh Rangga yang menindihnya. Dengan sedikit suara mungkin bisa dibilang berbisik Wira mengomeli Rangga.
“Sszzzztt, udah jangan berisik liat tuh di depan.”
Rangga berbalas bisik, ia berniat untuk mengalihkan omelan Wira dengan sesuatu yang ia ingin lihat. Lia. Wira yang sedari tadi menengok ke belakang langsung membalikkan pandangannya ke depan, Rangga benar Lia ada dan sedang melihatnya sekarang.