Hingar-bingar jalan mulai semarak di telinga, bau asap kendaraan sudah bersahabat dengan hidung. Muka kusam gara-gara debu jalanan sudah menjadi makanan sehari-hari Wira. Kini, ia sedang memacu kuda besinya menuju tempat yang tidak pernah ada di belahan dunia mana pun. Sebuah tempat yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya. Menikmati alam sepi, bercengkerama dengan alam, menghirup udara paling jujur tanpa kemunafikan seperti di kota. Namun, hari ini sedikit berbeda, ada hal istimewa yang tidak pernah ia temukan di barisan hutan mana pun.
Masih di jalanan hitam bergaris putih di tengahnya, melewati sudut-sudut kota, langit menjanjikan Wira untuk tetap terus melaju tanpa ragu. Di sebuah lampu merah ia berhenti sekitar dua meter dari angkutan kota berwarna biru muda bergaris kuning di bawahnya, sebuah mini bus yang sering dinaiki teman-temannya saat pergi sekolah. Di lihat sebuah sosok yang matanya sudah hafal, dari rambutnya yang terurai, hidungnya seperti perosotan TK, pipinya chuby seperti kue bakpao, dan Wira benar-benar tahu ia siapa.
Dua menit sudah berlalu saatnya warna merah berganti dengan hijau, semua kendaraan saling memacu gas siapa paling cepat seperti di sirkuit balap. Namun, berbeda dengan Wira, ia masih tetap tepat di belakang angkot. Hingga sang perangai sadar ada seseorang yang memperhatikannya.
“Wira?” tukas Lia heran.
Dari balik kaca Wira tersenyum lebar hingga terlihat deretan gigi yang berwarna putih. Sembari mengikuti laju mobil ia tetap dengan posisinya di belakang, Wira membuat mimik muka yang lucu untuk menghibur Lia, dan Lia tetap menyaksikan Wira di dalam angkut seperti sedang menonton acara televisi. Lia tersenyum geli melihat tingkah Wira yang konyol itu.
Hingga Wira mengeluarkan kata-kata yang tidak Lia mengerti apa yang sedang ia bicarakan. Mereka saling bercakap namun saling tuli, hingga kata-kata isyarat Wira dikeluarkan. Wira melepas tangan kirinya dari stang motor, memberi isyarat “ayo sini!” dengan ajakan lewat tangan, kemudian Wira menunjuk jok belakang dengan jempolnya seperti sedang berkata “Sini, di belakang kosong.”
Namun, tetap saja hal itu masih tidak Lia mengerti dan Wira mengulangi hal itu berkali-kali. Setelah memperagakan berkali-kali akhirnya Lia mengerti dan tersenyum lantas mengangguk arti mengerti. Sejurus kemudian Lia turun dari angkot.
Cuaca cerah memang paling cocok untuk dua hati saling temu, bertualang lantas kembali mecari jalan untuk pulang. Jika ada yang meminta mendeskripsikan rasa bahagia Wira saat ini, ia tidak bisa. Karena kata-kata tidak cukup mewakili rasa bahagianya hari ini.
“Kita mau kemana?” Tukas Lia.
Lia berada di jok belakang, tangannya yang melingkari tubuh Wira membuat dirinya sedikit kikuk. Wanita memang paling hebat jika mematikan laki-laki.
*****
Suatu malam sebelum ini terjadi, dimana hati tidak lagi bisa di ajak berkompromi, pikiran sudah tidak lagi bisa berkata sepakat. Apakah rindu harus selalu disembuhkan? Entahlah, yang pasti harinya tidak karuan, hatinya berantakan. Bayangannya menari-nari, berlarian di dalam pikiran. Seperti isi kepala Wira hanya di isi oleh Lia.
“Oh tuhan, Lia tuh ya selalu saja muter-muter di kepalaku.” gerutu Wira dalam batinnya.
Di pegangnya sebuah ponsel namun tidak digunakan, ia tetap memegangnya erat dengan pikiran-pikiran yang masih tetap berkecamuk. Mencoba mendekati seseorang untuk pertama kali adalah hal yang harus direncanakan dengan matang, tidak mungkin ia hanya berdiam diri dengan segudang basa-basi. Walaupun perempuan suka bilang “Laki-laki itu kalo deketin perempuan gak pernah mikir panjang.” mungkin yang ngomong gitu tidak kenal Wira, ia harus berpikir beberapa kali hanya untuk mengajaknya jalan saja. Sial.
Lia memang teman Wira, dulu ketika sekelas mereka terkadang bersama. Tapi, itu hanya perihal urusan tugas, bagaimana dengan hal yang tidak ada kaitannya dengan sekolah, dan lagipula itu pun dahulu berbeda dengan sekarang. Seharusnya Wira bisa bersikap biasa saja. Namun, segala sesuatu jika membawa perasaan memang terasa rumit.
Berdamai dengan perasaan memang tidak mudah, namun pilihan harus tetap ditentukan, cepat atau lambat kata sepakat harus terucap. Wira harus mengubur rasa ragunya, membakar semua rasa mindernya. Wira ragu dengan dirinya sendiri, apakah Lia mau di ajak jalan dengannya, apakah ia mau di bonceng dengannya lagi, apakah ia mau, apakah ia nanti tidak malu.
“Ahhhhhh...” Batinnya menggerutu.
Mungkin itu yang membuat Wira masih ragu, hingga ponselnya hanya sebagai hiasan saja di tangan. Bukankah tidak semua yang dinilai itu yang terlihat. Lantas kenapa harus ragu. Wira langsung meyakinkan dirinya, ia cari nomer HP Lia yang tersimpan namun sudah jarang ia hubungi.
Kini, tangan kanannya memegang handphone yang sudah menepi di telinga, menunggu jawaban. Berselang.
“Hallo, dengan siapa?”
“Apa ini Alinea?”
“Iya, benar, memang ini siapa?” Wira menghentikan percakapannya, merenung apakah percakapan ini harus di lanjutkan. “Hallo..Hallo..” Lia masih penasaran dengan seseorang di balik telpon.
“Ini aku...” Menghela napas panjang “Wira”
“Ya ampunnn, aku kira siapa. Maaf ya Ra Handphoneku error jadi kontaknya ke hapus, termasuk nomer kamu.”
“Iya, engga apa-apa.”
“Ouhh iya, ada apa Ra? kok tumben nelpon?”
Wira bermandikan keringat. “Kamu ada waktu besok, kalo ada aku mau ngajak jalan.”