Denting jarum jam seolah tak pernah berhenti memberi tahu bahwa waktu akan terus berputar. Kian hari terik siang tersapu halus oleh awan membawakan suasana hangat. Langit yang di pulas jingga menjadi pemandangan seisi bumi. Bayang-bayang hitam selalu menjadi pendamping, mengikuti setiap arah langkah manusia yang lalu-lalang.
Seperti Wira, hari ini ia tidak menggunakan motor seperti biasanya, ia memilih untuk berjalan dan menggunakan angkutan umum. Motor tua yang punya mood ngambek seperti wanita yang datang bulan, apalagi jika bukan mogok. Sebenernya ia bisa nebeng dengan Rangga, tapi entah. Ia ingin menikmati dirinya lagi untuk sendirian.
Berjalan ditemani bayang, arah langkahnya tetap teratur menciptakan irama tepukan kaki. Di dalam kepalanya ia sedang berdialog tentang perasaannya kepada Lia, akan sampai kapan ia seperti ini.
Terlihat sebuah bangku taman kosong di ujung jalan, ia pikir menikmati sore di taman bukan ide yang baruk.
Di hadapannya sebuah bangku taman yang cukup untuk dua orang, ia mengambil ancang-ancang untuk duduk, disandarkannya sebuah badan yang tak lagi mempunyai kekuatan untuk menghadapi kenyataan. Memejamkan mata, suasana sore membawanya pelan-pelan pada memori bertemu dengan Lia pertama kali saat di gunung. Angin sore yang terus menghembus membuat ia semakin dalam dari imajinasi, kini ia terbawa oleh khayal yang ia cipta sendiri; Halu.
Dalam khayalnya terus memutar adegan itu berulang-ulang. Seperti nyata, namun Lia tetap tidak untuk jadi kenyataan bersamanya.
“Kamu suka di sini juga.” Wira menerka suara siapa barusan, seperti lebih nyata dari khayalnya.
“Kamu suka di sini, Ra.”
Sekali lagi terdengar suara perempuan yang terdengar sangat jelas dan nyata. Dan, betapa tersentaknya Wira kini di samping kirinya ada seorang perempuan yang duduk bersamanya.
Wira membetulkan duduknya. “Amanda!”
Di bawah pohon yang rimbun di tengah taman, mereka saling duduk berselebelahan. Menghabiskan waktu sore mereka di sana.
“Kamu juga sering ke sini, Ra?” tanya Amanda.
“Engga juga, aku cuman lagi ingin jalan-jalan sore aja.”
“Ouhhh” ucap Amanda singkat. “Akhir-akhir ini aku perhatikan kamu berbeda Ra, kamu kenapa?”
Mendengar pertanyaan dari Amanda Wira sontak hanya berdiam tidak ingin merespon, ia tidak ingin orang-orang tahu tentang dirinya kini.
“Engga apa-apa kok, biasa ajah. Heee...” gelagat menyembunyikan.
“Jika kamu pengen cerita, cerita ajah. Lagian dengerin cerita orang itu menurutku seru.”
Wira terlihat sedang bernegosiasi dengan dirinya sendiri. Apakah dia harus cerita kepada Amanda? Jika iya, Wira bisa mendapat petunjuk karena Amanda adalah sahabat Lia. Minimalnya Wira bisa mendapatkan solusi lain hingga perasaannya sedikit lega.
“Man!” Wira mulai membuka percakapan. “Bagaimana menurutmu jika ada temen yang suka dengan temennya sendiri?”
Mendengar kalimat itu Amanda jelas tersentak, ia tidak menyangka akan ada kata-kata demikian keluar dari mulut Wira, sebuah pertanyaan yang tidak pernah Amanda duga sebelumnya. Ia termakan dirinya sendiri, berdiam termagu tertunduk lesu. Jika boleh, ia tidak ingin menjawab pertanyaan itu. Tapi ini adalah kesalahnya juga, seperti menyediakan pundak untuk bersandar namun merasa berat.
“Hemmm...” Amanda mulai merengkuh kata katanya, mengolah satu persatu hingga merapalkannya “Menurutku tentang rasa itu pelik, Ra.”