Wira

Nazarulloh R
Chapter #12

12. Salahkah Rasaku Tumbuh Untuk Mu

Hati memang tidak bisa di ajak berkompromi. Padahal sedari awal kita sepakat hubungan ini hanya sebatas teman dekat. Tapi kenapa rasa selalu meminta lebih? Apakah hati senakal itu? Berteman saja tanpa melibatkan perasaan itu memang sebuah keharusan. Tapi gimana,  bicara perihal rasa semua seolah buta, buta jikalau kita hanya sebatas teman. Suara hati Wira.

Pada mentari yang sudah mengangkasa dari peristirahatannya, embun-embun yang masih berkeliaran, sejuknya pagi menjadi rasa. Wira sedang bersteru dengan dirinya sendiri di atas motor yang dibawanya melesat. Ia sedang berdiskusi antara hati dan pikirannya, semoga semuanya menyatakan hal yang sama. Karena terkadang hati dan pikiran tidak pernah berjalan beriringan.

Beberapa motor ia lewati di jalan, memburu jam sekolah yang termakan oleh mimpi. Sisa jam yang ia punya sekitar lima belas menit dari jam di tangan kirinya yang ia pandangi sesekali memastikan ia masih sempat. Ia harus cepat.

Urusan hati memang selalu membuat repot pelakunya, buktinya Wira bangun lebih dari jam yang sudah ditentukan. Ini karena semalam suntuk ia memikirkan diri dan hatinya.

Lucu memang, masalah sepele seperti ini harus di besar-besarkan. Tapi, kadang urusan yang dianggap kecil akan berimbas besar, apalagi masalah melankolis seperti ini. Ini bukan isapan jempol belaka, banyak kasus-kasus pemukulan, pengeroyokan, intimidasi, bahkan di bunuh dan bunuh diri itu marak terjadi hanya karena masalah cinta. Itu kenapa, masalah cinta tidak bisa dianggap sepele. Mungkin di belahan dunia ada orang-orang yang tidak ingin di ganggu kisah asmaranya, jika itu terjadi, akan ada banyak hal yang tidak diinginkan terjadi.

Salahkah rasaku tumbuh untuk mu...

Ahh sudahlah, sekarang yang terpenting bagaimana Wira bisa sampai tepat waktu di sekolah.

Masih dengan adegan kebut-kebutan di jalan, Wira yang sedari tadi memacu motornya sedikit lebih kencang dari biasanya harus rela gasnya ia kendurkan, sejurus kemudian motornya mulai terhenti perlahan berbarengan dengan kakinya yang menginjak rem. Wira terhenti.

Ia memundurkan motornya dengan mendorong menggunakan kaki. Perlahan tapi pasti ia mulai mundur. Tepat di depan sebuah halte bus di pinggiran kota, ketika berkendara tadi bola matanya tidak sengaja menangkap rupa seseorang. Dari motornya ia memastikan rupa tersebut. Membukakan kaca helm yang ia kenakan agar terlihat lebih jelas.

Wira memiringkan kepala ke kiri, mengkerutkan kening, entah apa yang dilakukannya tapi terlihat seolah menerka.

“Lia?”

Lia yang melihat Wira di depan halte bus malah ikut menirukan gerakan Wira dengan memiringkan kepala. Ekspresinya terlihat aneh, melongo. Atau mungkin Lia yang aneh melihat Wira.

Mana mungkin ia akan meninggalkan Lia yang harus menunggu angkutan umum di jam setelat ini, tapi tunggu. Atau mungkin Wira yang memang tidak akan menyia-nyiakan kesempatan ini.

Dengan cepat ia menghampiri Lia.

“Sekarang udah telat, kalo kamu nunggu angkutan kapan sampenya, bareng ajah yuk.” dengan menyodorkan helm yang selalu ia bawa di bangku belakang.

Lia bingung apakah ia harus masih bertahan dengan idealisnya, dengan menunggu angkutan, atau ikut bersama Wira. Tapi, Wira benar akan sampai jam berapa jika ia masih bertahan dengan menunggu hal yang tidak pasti seperti ini.

Tanpa membalas kata-kata Wira, Lia langsung mengambil helm tersebut, dan duduk di kursi belakang kuda besi.

Satu kali geberan suara khas motor tua mereka berdua melaju.

Kesunyian melanda mereka berdua, merasa saling asing satu sama lain. Tidak ada suara lain yang terdengar selain suara kenalpot Wira.

Lihat selengkapnya